RSS

Aplikasi Pencarian Luas dan Keliling Persegi Panjang

Untuk aplikasi pencarian Luas dan Keliling persegi panjang silahkan klik disini

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Januari 17, 2012 inci Uncategorized

 

Tugas Powerpoint “Media Pembelajaran”

Berikut ini adalah powerpoint yang pernah saya dan teman-teman satu kelompok buat untuk tugas Media Pembelajaran. Masih banyak kekurangan, dan kami akan terus belajar untuk memperbaiki kekurangan itu. Bagi teman-teman yang menghendaki, silahkan klik disini

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Januari 13, 2012 inci Uncategorized

 

Contoh LKS “Fungsi Komposisi dan Fungsi Invers”

Berikut ini adalah contoh LKS yang pernah saya buat pada mata kuliah Telaah Kurikulum. Meskipun hanya berisi satu materi saja yaitu mengenai Fungsi Komposisi dan Fungsi Invers, semoga dapat bermanfaat.

teman-teman pembaca bisa mendapatkannya dengan cara klik disini

 

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Januari 13, 2012 inci Uncategorized

 

Sejarah dipakainya “x” untuk mencari sesuatu yang Belum Diketahui

Ketika kita belajar tentang Matematika apalagi mengenai aljabar, persamaan linear, persamaan kuadrat, trigonometri, atau materi-materi Matematika yang lainnya, seringkali kita menemukan huruf x. Huruf x dalam Matematika sering atau bahkan selalu dipakai untuk menjadi tanda dari sesuatu yang akan dicari atau belum diketahui nilainya. Sempat terfikir dalam benak kita, kenapa harus memakai huruf x, kenapa tidak huruf-huruf lain seperti a, b, c, atau w mungkin? Kenapa harus x?

Bagi sebagian siswa yang sangat kritis, mereka sering menanyakan hal ini kepada guru mereka. Dan sebagian guru pun hanya menjawab pertanyaan tersebut dengan senyuman dan mengatakan untuk lebih mudahnya saja dipakai huruf x. Namun tahukah teman-teman pembaca mengapa kita memakai huruf x untuk sesuatu yang sedang dicari nilainya dalam pelajaran eksak khususnya Matematika? Ternyata dipakainya huruf x sebagai penanda sesuatu yang belum diketahui nilainya itu ada sejarahnya.

Ceritanya begini, seorang matematikawan, astronom, filsuf, dan penyair asal Persia (sekarang Iran) yang bernama Umar Khayyam (18 Mei 1048 — 4 Desember 1131) adalah seseorang yang pertama kali menggagas simbol ini. Istilah yang digunakan oleh Omar Khayyam waktu itu adalah chay. Istilah ini menyebar ke mana-mana, termasuk ke Spanyol. Oleh orang Spanyol, istilah ini dituliskan menjadi xay hingga lama-kelamaan, karena dianggap kurang praktis, akhirnya hanya huruf depan yang digunakan yaitu (x), sampai sekarang.

Nah, begitulah ceritanya hingga sampai saat ini kita bisa memakai huruf x sebagai penanda sesuatu yang belum kita ketahui nilainya dan hendak kita cari. Semoga sedikit informasi ini bermanfaat bagi teman-teman, sehingga ketika kita mengajarkan aljabar pada siswa dan mereka bertanya seperti di atas, kita dapat menjawabnya. ^_^

Sumber: kawanpustaka.com

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Januari 8, 2012 inci Uncategorized

 

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

Berikut ini contoh salah satu RPP yang saya gunakan waktu saya PPL di SMK Muhammadiyah 1 Surakarta,

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

(RPP)

Nama Sekolah                : SMK Muhammadiyah 1 Surakarta

Mata Pelajaran              : Matematika

Kelas / Semester           : X / 1

Alokasi Waktu                :  2 x pertemuan (6 x 30 menit)

Standar Kompetensi    : 13. Menerapkan konsep barisan dan deret dalam pemecahan masalah

Kompetensi Dasar        :  1.3.2 Menerapkan konsep barisan dan deret aritmatika

Indikator                          :

1. Mendiskripsikan barisan dan deret   aritmatika berdasarkan ciri-cirinya.

2. Menentukan suku ke-n barisan aritmatika menggunakan  n rumus

3.  Menentukan jumlah n suku suatu deret aritmatika menggunakan n rumus.

A.     Tujuan Pembelajaran

1. Siswa dapat mendiskripsikan barisan dan deret   aritmatika berdasarkan ciri- cirinya.

2. Siswa dapat menentukan suku ke-n barisan aritmatika menggunakan  n rumus

3. Siswa dapat  menentukan jumlah n suku suatu deret aritmatika menggunakan n rumus.

B.     Materi Pembelajaran

1. Barisan aritmatika

Barisan aritmetika adalah barisan bilangan yang selisih dua suku yang berurutan selalu mempunyai nilai yang tetap ( konstan ).

2.     Deret aritmatika

Deret aritmatika  adalah suatu deret yang merupakan penjumlahan berurut dari suku suku barisan aritmatika .

C.     Metode Pembelajaran

Ceramah, Tanya Jawab, pemberian tugas dengan kerja individu

D.    Langkah-langkah Pembelajaran

1.   Pertemuan Pertama

TAHAPAN

KEGIATAN GURU SISWA

PENDIDIKAN KARAKTER

WAKTU

KEGIATAN AWAL–      Berdoa-      Salam dan tegur sapa-      Mengecek kehadiran siswa

–      Prolog / apersepsi

–   Guru bersama siswa berdoa bersama sama-   Guru memberi salam-   Guru mengabsen siswa

–   Guru mengarahkan persepi siswa

–     Iman dan taqwa-    Santun dan peduli-    Empati

–    Kreatif, percaya diri

5      menit
KEGIATAN INTI–       Eksplorasi-      Elaborasi-      Konfirmasi –   Guru bersama siswa mengingat kembali mengenai pla ilangan dan deret-   Siswa menyampaikan informasi mengenai barisan aritmatika-   Guru menugasi siswa untuk menyimak materi yang akan dipelajari.

–   Guru menjelaskan sedikit tentang materi

–   Guru memberi contoh soal dan menjelaskan cara penyelesaian soal disertai sedikit Tanya jawab

–   Siswa mengkomunikasikan secara lisan mengenai barisan aritmatika

–   Guru memberikan soal latihan untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa

–   Siswa diminta untuk menyelesaikan soal yang diberikan dan mempresentasikan di depan

–   guru bersama siswa mengevauasi hasil belajar siswa

–    Rasa ingin tahu-    Disiplin, tanggung jawab, perhatian-    Menghormati, perhatian rasa ingin tahu

–    Perhatian tertib, tanggung jawab

–    Perhatian,menghargai, rasa ingin tahu, disiplin

–    Percaya diri

–  kerja sama, tanggung jawab

– percaya diri, tanggung jawab

–    Perhatian, jujur

10 menit10 menit15  menit

10 menit

30  menit

PENUTUP –   Siswa bersama guru membuat kesimpulan-   Guru memberi tugas rumah –    Tanggung jawab 10 menit

 

2.    Pertemuan kedua

TAHAPAN

KEGIATAN GURU SISWA

PENDIDIKAN KARAKTER

WAKTU

KEGIATAN AWAL–  Berdoa-  Salam dan tegur sapa-  Mengecek kehadiran siswa

–  Prolog / apersepsi

–   Guru bersama siswa berdoa bersama sama-   Guru memberi salam-   Guru mengabsen siswa

–   Guru mengarahkan persepi siswa

–     Iman dan taqwa-    Santun dan peduli-    Empati

–    Kreatif, percaya diri

5      menit
KEGIATAN INTI–   Eksplorasi-  Elaborasi-  Konfirmasi –   Guru bersama siswa mengingat kembali mengenai  barisan aritmatika-   Siswa menyampaikan informasi mengenai deret aritmatika-   Guru menugasi siswa untuk menyimak materi yang akan dipelajari.

–   Guru menjelaskan sedikit tentang materi

–   Guru memberi contoh soal dan menjelaskan cara penyelesaian soal disertai sedikit Tanya jawab

–   Siswa mengkomunikasikan secara lisan mengenai barisan aritmatika

–   Guru memberikan soal latihan untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa

–   Siswa diminta untuk menyelesaikan soal yang diberikan dan mempresentasikan di depan

–   guru bersama siswa mengevauasi hasil belajar siswa

–    Rasa ingin tahu-    Disiplin, tanggung jawab, perhatian-    Menghormati, perhatian rasa ingin tahu

–    Perhatian tertib, tanggung jawab

–    Perhatian,menghargai, rasa ingin tahu, disiplin

–    Percaya diri

–  kerja sama, tanggung jawab

– percaya diri, tanggung jawab

–    Perhatian, jujur

10 menit10 menit15  menit

10 menit

30  menit

PENUTUP –   Siswa bersama guru membuat kesimpulan-   Guru memberi tugas rumah –    Tanggung jawab 10 menit

E. Alat dan sumber Belajar

  • Sumber: 1. Buku Sekolah Elektronik (BSE) Matematika Kelas XI      Karangan To’ali

2. Buku Matematika Program Teknologi, Kesehatan, dan pertanian untuk SMK dan MAK Kelas XI Erlangga

  • Alat      :  LCD, papan tulis, spidol, penghapus

F.                  Penilaian

Indikator Pencapaian Kompetensi

Penilaian

Teknik Penilaian

Bentuk Instrumen

Instrumen/ Soal

  • Menentukan suku ke-n barisan aritmatika menggunakan  n rumus
  • Siswa dapat menentukan suku ke-n barisan aritmatika menggunakan  n rumus
  • Siswa dapat  menentukan jumlah n suku suatu deret aritmatika menggunakan n rumus.

 

 

 

 

 

Tes tertulis Tes uraian 1. a. Tentukan suku ke – 6 dari   barisan aritmetika 2 , 4 , 6 , 8 , …b. Tentukan suku ke-21 jika diketahui suku ke-5 dan suku ke-9 barisan aritmatika adalah 35 dan 43!2. a. Carilah jumlah 10 sukupertama dari  unsur-unsur

deret aritmatika berikut ini :

b.  Carilah jumlah dari deret 3 + 8    + 13 + … + 93

c.    Suatu Auditorium akan digunakan untuk seminar. Baris pertama memuat 30 kursi. Baris kedua memuat 36 kursi, dan seterusnya bertambah 6 kursi. Berapa jumlah kursi yang ada, jika dalam Auditorium tersebut terdapat 9 baris?


Ketentuan Penilaian :

Masing-masing point

1.      Siswa menjawab dengan cara yang benar dan jawaban benar skor maksimal 10

2.      Siswa menjawab dengan cara yang benar namun jawaban salah skor maksimal 8

3.      Siswa hanya menjawab dengan jawaban saja skor 5

4.      Siswa hanya menulis apa yang dikatahui dan yang ditanyakan skor 1

Nilai  Akhir    = 2 x Jumlah Skor

= 2 x 50

= 100

                                                                      Mengetahui,

Guru Pamong Matematika

SMK Muhammadiyah 1 Surakarta

(Erlina Farida, S.T.)

                NIP :

Surakarta, 13 September 2011

Praktikan,

( Tia Fifi Lestari )

NIM : A.410080217

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Januari 8, 2012 inci Uncategorized

 

PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI USAHA “REBOISASI” MORAL BANGSA

Oleh: Tia Fifi Lestari

Pendidikan merupakan sarana yang berperan penting dalam menciptakan manusia yang berkualitas dan berpotensi. Hal ini bukan berarti berkualitas dan berpotensi hanya dalam bidang akademik saja namun juga dalam hal moral atau budi pekerti. Pendidikan di Indonesia  dilaksanakan dengan maksud untuk mencetak generasi muda yang berprestasi dan bermoral baik. Namun, permasalahan yang timbul adalah seringnya kita mendengar hal – hal yang kurang pantas justru dilakukan oleh beberapa pelajar di negeri ini. Fenomena mencontek, tawuran antar pelajar, serta kejadian – kejadian lain yang tidak mencerminkan perilaku seorang akademisi semakin hari malah semakin menjamur saja. Disamping itu, tingkat kesopanan seorang siswa terhadap gurunya atau seorang anak terhadap kedua orang tuanya juga semakin memprihatinkan.

Menurut beberapa data yang dihimpun Kompasiana (http://sosbud.kompasiana.com), tawuran pelajar tidak terjadi satu atau dua kali di Indonesia, melainkan sudah terjadi puluhan bahkan ratusan kali. Contohnya saja di Jakarta, tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas (Bimmas Polri Metro Jaya). Pada 2010, tawuran pelajar tercatat berjumlah 28 kasus, sedangkan pada periode Januari – Agustus 2011, tawuran pelajar di Jakarta sudah tercatat sebanyak 36 kasus, dengan wilayah paling banyak di Jakarta Pusat (tempo).

Motif dalam pelaksanaan tawuran pelajarpun juga beraneka ragam. Yang paling baru akhir-akhir ini adalah tawuran pelajar yang menewaskan seorang siswa STM Budut Jakarta pada 2 Desember 2011. Pelaku pengeroyokan dalam tawuran tersebut mengaku sebelum tawuran di lapangan mereka telah terlibat perang di jejaring sosial facebook. (http://www.indosiar.com)

Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora (LSCK PUSBIH) yang melibatkan 1666 responden mencatat kasus seks bebas di kota-kota besar seperti Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya melebihi angka 50%. Dan yang lebih mengejutkan adalah sekitar 97,05% remaja di Yogyakarta telah melakukan seks bebas (Asmani, 2011: 24).

Bukan hanya itu, kemunduran moral bangsa juga dapat dilihat dari moral para pemimpin bangsa ini yang masih jauh dari harapan. Tingginya tingkat korupsi di negeri ini mengisyaratkan bahwa negeri ini sudah kehilangan karakter pemimpin bangsa yang benar-benar dapat menjadi panutan.

Peristiwa – peristiwa yang tersebut diatas menunjukkan karakter generasi muda Indonesia sudah berada pada titik yang mengkhawatirkan dan kurangnya figur yang dapat menjadi panutan bagi mereka. Menurut Hidayatullah (2010: 17), beberapa faktor penyebab rendahnya pendidikan karakter adalah: pertama, sistem pendidikan yang kurang menekankan pembentukan karakter, tetapi lebih menekankan pengembangan intelektual, misalnya sistem evaluasi pendidikan menekankan aspek kognitif/akademik, seperti Ujian Nasional (UN). Kedua, kondisi lingkungan yang kurang mendukung pembangunan karakter yang baik.

Jika diibaratkan hutan, negeri ini sudah kehilangan pohon-pohon hijau yang berupa karakter dan moral yang baik sehingga perlu reboisasi karakter atau moral agar dapat hijau kembali. Reboisasi karakter ini bisa diimplementasikan melalui pendidikan karakter di sekolah.

 

Pendidikan di sekolah tidak lagi cukup hanya dengan mengajar peserta didik membaca, menulis, dan berhitung, kemudian lulus ujian dan nantinya mendapatkan pekerjaan yang baik. Sekolah harus mampu mendidik peserta didik untuk mampu memutuskan apa yang benar dan salah. (Hidayatullah, 2010).

Menurut Muslich (2011: 29) sebuah sistem pendidikan yang berhasil adalah yang dapat membentuk manusia – manusia berkarakter yang sangat diperlukan dalam mewujudkan sebuah negara kebangsaan yang terhormat. Sehingga, masih menurut Muslich, pendidikan karakter atau budi pekerti plus adalah suatu yang urgent untuk dilakukan.

Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 01 Tahun 2010 pada bagian prioritas 2 tentang Pendidikan yang berbunyi “Penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa” sudah cukup mengindikasikan pentingnya pendidikan untuk membentuk karakter bangsa Indonesia. Sehingga Depdiknas menyelenggarakan rintisan program yang mengaplikasikan nilai – nilai karakter budaya bangsa melalui pendidikan karakter.

Lingkungan sekolah dapat menjadi tempat pendidikan yang baik bagi pertumbuhan karakter siswa. Segala peristiwa yang terjadi di dalam sekolah semuanya dapat diintegrasikan melalui pendidikan karakter. Dengan demikian, pendidikan karakter merupakan sebuah usaha bersama dari seluruh warga sekolah untuk menciptakan sebuah kultur baru di sekolah, yaitu kultur pendidikan karakter. Secara langsung, lembaga pendidikan dapat menciptakan sebuah pendekatan pendidikan karakter melalui kurikulum, penegakan disiplin, manajemen kelas, maupun melalui program-program pendidikan yang dirancangnya (Aqib, 2011: 99).

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya. Pentingnya peran guru ini ditunjukkan  bahwa affektif guru akan mengurangi perilaku menyimpang siswa (Bryk & Driscoll, 1988), mengurangi penyalahgunaan narkoba (Battistich & Hom, 1997), meningkatkan tingkat kehadiran (Lapsley & Narvaez, 2006), dan meningkatkan prestasi akademik (Zins, Weissberg, Werg, & Walberg, 2004) (http://idrisharta.blogspot.com)  

Dengan demikian, pendidikan karakter diharapkan mampu memperbaiki karakter dan moral siswa sehingga dapat menghijaukan kembali moral bangsa yang sempat gundul dari hijaunya budi pekerti.

 

Sumber:

Aqib, Zainal. 2011. Pendidikan Karakter; Membangun Perilaku Positif Anak Bangsa. Bandung: Yrama Widya.

Kompasiana. 2011. Tawuran adalah Realita Pelajar Indonesia. http://sosbud.kompasiana.com/2011/09/25/tawuran-adalah-realita-pelajar-indonesia.html. diakses tanggal  12 Desember 2011.

Haris, Abdul at. all. 2011. Tawuran Pelajar Direncanakan Melalui Jejaring Sosial Facebook. http://www.indosiar.com/patroli/direncanakan-melalui-jejaring-sosial-facebook_93005.html diakses tanggal 6 Desember 2011

Asmani, Jamal Ma’mur. 2011. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Jogjakarta: DIVA Press.

Hidayatullah, M. Furqon. 2010. Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa. Surakarta: Yuma Pustaka.

Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.

Harta, Idris. 2011. Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Matematika SMP/ MTs. http://idrisharta.blogspot.com/2011/04/pendidikan-karakter-matematika-smp.html  . diakses tanggal 12 November 2011

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Januari 8, 2012 inci Uncategorized

 

Perjalanan Kurikulum Nasional (pada Pendidikan Dasar dan Menengah) Hingga 2004

Sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, serta tahun 2004. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya.

Kurikulum 1968 dan sebelumnya

Awalnya pada tahun 1947, kurikulum saat itu diberi nama Rentjana Pelajaran 1947. Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai development conformism lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini.

Setelah Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.

Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana (Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan, dan jasmani.

Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.

Kurikulum 1975

Kurikulum 1975 sebagai pengganti kurikulum 1968 menggunakan pendekatan-pendekatan di antaranya sebagai berikut.

  • Berorientasi pada tujuan
  • Menganut pendekatan integrative dalam arti bahwa setiap pelajaran memiliki arti dan peranan yang menunjang kepada tercapainya tujuan-tujuan yang lebih integratif.
  • Menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu.
  • Menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Sistem yang senantiasa mengarah kepada tercapainya tujuan yang spesifik, dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa.
  • Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon (rangsang-jawab) dan latihan (drill).

Kurikulum 1975 hingga menjelang tahun 1983 dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan sidang umum MPR 1983 yang produknya tertuang dalam GBHN 1983 menyiratakan keputusan politik yang menghendaki perubahan kurikulum dari kurikulum 1975 ke kurikulum 1984. Karena itulah pada tahun 1984 pemerintah menetapkan pergantian kurikulum 1975 oleh kurikulum 1984.

Kurikulum 1984

Secara umum dasar perubahan kurikulum 1975 ke kurikulum 1984 di antaranya adalah sebagai berikut.

  • Terdapat beberapa unsur dalam GBHN 1983 yang belum tertampung ke dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah
  • Terdapat ketidakserasian antara materi kurikulum berbagai bidang studi dengan kemampuan anak didik
  • Terdapat kesenjangan antara program kurikulum dan pelaksanaannya di sekolah
  • Terlalu padatnya isi kurikulum yang harus diajarkan hampir di setiap jenjang.
  • Pelaksanaan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) sebagai bidang pendidikan yang berdiri sendiri mulai dari tingkat kanak-kanak sampai sekolah menengah tingkat atas termasuk Pendidikan Luar Sekolah.
  • Pengadaan program studi baru (seperti di SMA) untuk memenuhi kebutuhan perkembangan lapangan kerja.

Atas dasar perkembangan itu maka menjelang tahun 1983 antara kebutuhan atau tuntutan masyarakat dan ilmu pengetahuan/teknologi terhadap pendidikan dalam kurikulum 1975 dianggap tidak sesuai lagi, oleh karena itu diperlukan perubahan kurikulum. Kurikulum 1984 tampil sebagai perbaikan atau revisi terhadap kurikulum 1975. Kurikulum 1984 memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  • Berorientasi kepada tujuan instruksional. Didasari oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa.
  • Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui cara belajar siswa aktif (CBSA). CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor.
  • Materi pelajaran dikemas dengan nenggunakan pendekatan spiral. Spiral adalah pendekatan yang digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran. Semakin tinggi kelas dan jenjang sekolah, semakin dalam dan luas materi pelajaran yang diberikan.
  • Menanamkan pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan. Konsep-konsep yang dipelajari siswa harus didasarkan kepada pengertian, baru kemudian diberikan latihan setelah mengerti. Untuk menunjang pengertian alat peraga sebagai media digunakan untuk membantu siswa memahami konsep yang dipelajarinya.
  • Materi disajikan berdasarkan tingkat kesiapan atau kematangan siswa. Pemberian materi pelajaran berdasarkan tingkat kematangan mental siswa dan penyajian pada jenjang sekolah dasar harus melalui pendekatan konkret, semikonkret, semiabstrak, dan abstrak dengan menggunakan pendekatan induktif dari contoh-contoh ke kesimpulan. Dari yang mudah menuju ke sukar dan dari sederhana menuju ke kompleks.
  • Menggunakan pendekatan keterampilan proses. Keterampilan proses adalah pendekatan belajat mengajar yang memberi tekanan kepada proses pembentukkan keterampilan memperoleh pengetahuan dan mengkomunikasikan perolehannya. Pendekatan keterampilan proses diupayakan dilakukan secara efektif dan efesien dalam mencapai tujuan pelajaran.

Kurikulum 1994

Pada kurikulum sebelumnya, yaitu kurikulum 1984, proses pembelajaran menekankan pada pola pengajaran yang berorientasi pada teori belajar mengajar dengan kurang memperhatikan muatan (isi) pelajaran. Hal ini terjadi karena berkesesuaian suasan pendidikan di LPTK (lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) pun lebih mengutamakan teori tentang proses belajar mengajar. Akibatnya, pada saat itu dibentuklah Tim Basic Science yang salah satu tugasnya ikut mengembangkan kurikulum di sekolah. Tim ini memandang bahwa materi (isi) pelajaran harus diberikan cukup banyak kepada siswa, sehingga siswa selesai mengikuti pelajaran pada periode tertentu akan mendapatkan materi pelajaran yang cukup banyak.

Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak.

Terdapat ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya sebagai berikut.

  • Pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem caturwulan
  • Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi)
  • Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga daerah yang khusus dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar.
  • Dalam pelaksanaan kegiatan, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Dalam mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen (terbuka, dimungkinkan lebih dari satu jawaban), dan penyelidikan.
  • Dalam pengajaran suatu mata pelajaran hendaknya disesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
  • Pengajaran dari hal yang konkrit ke hal yang abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit, dan dari hal yang sederhana ke hal yang komplek.
  • Pengulangan-pengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk pemantapan pemahaman siswa.

Selama dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented), di antaranya sebagai berikut.

  • Beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/substansi setiap mata pelajaran
  • Materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari.

Permasalahan di atas terasa saat berlangsungnya pelaksanaan kurikulum 1994. Hal ini mendorong para pembuat kebijakan untuk menyempurnakan kurikulum tersebut. Salah satu upaya penyempurnaan itu diberlakukannya Suplemen Kurikulum 1994. Penyempurnaan tersebut dilakukan dengan tetap mempertimbangkan prinsip penyempurnaan kurikulum, yaitu

  • Penyempurnaan kurikulum secara terus menerus sebagai upaya menyesuaikan kurikulum dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan kebutuhan masyarakat.
  • Penyempurnaan kurikulum dilakukan untuk mendapatkan proporsi yang tepat antara tujuan yang ingin dicapai dengan beban belajar, potensi siswa, dan keadaan lingkungan serta sarana pendukungnya.
  • Penyempurnaan kurikulum dilakukan untuk memperoleh kebenaran substansi materi pelajaran dan kesesuaian dengan tingkat perkembangan siswa.
  • Penyempurnaan kurikulum mempertimbangkan berbagai aspek terkait, seperti tujuan materi, pembelajaran, evaluasi, dan sarana/prasarana termasuk buku pelajaran.
  • Penyempurnaan kurikulum tidak mempersulit guru dalam mengimplementasikannya dan tetap dapat menggunakan buku pelajaran dan sarana prasarana pendidikan lainnya yang tersedia di sekolah.

Penyempurnaan kurikulum 1994 di pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan bertahap, yaitu tahap penyempurnaan jangka pendek dan penyempurnaan jangka panjang.

Kurikulum Berbasis Kompetensi – Versi Tahun 2002 dan 2004

Usaha pemerintah maupun pihak swasta dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan terutama meningkatkan hasil belajar siswa dalam berbagai mata pelajaran terus menerus dilakukan, seperti penyempurnaan kurikulum, materi pelajaran, dan proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Soejadi (1994:36), khususnya dalam mata pelajaran matematika mengatakan bahwa kegiatan pembelajaran matematika di jenjang persekolahan merupakan suatu kegiatan yang harus dikaji terus menerus dan jika perlu diperbaharui agar dapat sesuai dengan kemampuan murid serta tuntutan lingkungan. Implementasi pendidikan di sekolah mengacu pada seperangkat kurikulum. Salah satu bentuk inovasi yang dikembangkan pemerintah guna meningkatkan mutu pendidikan adalah melakukan inovasi di bidang kurikulum. Kurikulum 1994 perlu disempurnakan lagai sebagai respon terhadap perubahan struktural dalam pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik sebagai konsekuensi logis dilaksanakannya UU No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Kurikukum yang dikembangkan saat ini diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi. Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar performance yang telah ditetapkan. Competency Based Education is education geared toward preparing indivisuals to perform identified competencies (Scharg dalam Hamalik, 2000: 89). Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan mengacu pada upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat kompetensi yang telah ditentukan. Implikasinya adalah perlu dikembangkan suatu kurikulum berbasis kompetensi sebagai pedoman pembelajaran. Sejalan dengan visi pendidikan yang mengarahkan pada dua pengembangan, yaitu untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan kebutuhan masa datang, maka pendidikan di sekolah dititipi seperangkat misi dalam bentuk paket-paket kompetensi.

Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus dapat memungkinkan seseorang untuk menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu (Puskur, 2002a). Dasar pemikiran untuk menggunakan konsep kompetensi dalam kurikulum adalah sebagai berikut.

  1. Kompetensi berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks.
  2. Kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi kompeten.
  3. Kompeten merupakan hasil belajar (learning outcomes) yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan siswa setelah melalui proses pembelajaran.
  4. Kehandalan kemampuan siswa melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur.(Puskur, 2002a).

Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah. Kurikulum Berbasis Kompetensi berorientasi pada: (1) hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan (2) keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya (Puskur, 2002a).

Rumusan kompetensi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan pernyataan apa yang diharapkan dapat diketahui, disikapi, atau dilakukan siswa dalam setiap tingkatan kelas dan sekolah dan sekaligus menggambarkan kemajuan siswa yang dicapai secara bertahap dan berkelanjutan untuk menjadi kompeten.

Suatu program pendidikan berbasis kompetensi harus mengandung tiga unsur pokok, yaitu:

  • pemilihan kompetensi yang sesuai;
  • spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian kompetensi;
  • pengembangan sistem pembelajaran.

Kurikulum Berbasis Kompetensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  • Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
  • Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
  • Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
  • Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
  • Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi. (Puskur, 2002a).

Struktur kompetensi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi dalam suatu mata pelajaran memuat rincian kompetensi (kemampuan) dasar mata pelajaran itu dan sikap yang diharapkan dimiliki siswa. Mari kita lihat contohnya dalam mata pelajaran matematika, Kompetensi dasar matematika merupakan pernyataan minimal atau memadai tentang pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak setelah siswa menyelesaikan suatu aspek atau subaspek mata pelajaran matematika. (Puskur, 2002b). Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Matematika merupakan gambaran kompetensi yang seharusnya dipahami, diketahui, dan dilakukan siswa sebagai hasil pembelajaran mata pelajaran matematika. Kompetensi dasar tersebut dirumuskan untuk mencapai keterampilan (kecakapan) matematika yang mencakup kemampuan penalaran, komunikasi, pemecahan masalah, dan memiliki sikap menghargai kegunaan matematika.

Struktur kompetensi dasar Kurikulum Berbasis Kompetensi ini dirinci dalam komponen aspek, kelas dan semester. Keterampilan dan pengetahuan dalam setiap mata pelajaran, disusun dan dibagi menurut aspek dari mata pelajaran tersebut. Pernyataan hasil belajar ditetapkan untuk setiap aspek rumpun pelajaran pada setiap level. Perumusan hasil belajar adalah untuk menjawab pertanyaan, “Apa yang harus siswa ketahui dan mampu lakukan sebagai hasil belajar mereka pada level ini?”. Hasil belajar mencerminkan keluasan, kedalaman, dan kompleksitas kurikulum dinyatakan dengan kata kerja yang dapat diukur dengan berbagai teknik penilaian. Setiap hasil belajar memiliki seperangkat indikator. Perumusan indikator adalah untuk menjawab pertanyaan, “Bagaimana kita mengetahui bahwa siswa telah mencapai hasil belajar yang diharapkan?”. Guru akan menggunakan indikator sebagai dasar untuk menilai apakah siswa telah mencapai hasil belajar seperti yang diharapkan. Indikator bukan berarti dirumuskan dengan rentang yang sempit, yaitu tidak dimaksudkan untuk membatasi berbagai aktivitas pembelajaran siswa, juga tidak dimaksudkan untuk menentukan bagaimana guru melakukan penilaian. Misalkan, jika indikator menyatakan bahwa siswa mampu menjelaskan konsep atau gagasan tertentu, maka ini dapat ditunjukkan dengan kegiatan menulis, presentasi, atau melalui kinerja atau melakukan tugas lainnya.

Sumber : http://rbaryans.wordpress.com/2007/05/16/bagaimanakah-perjalanan-kurikulum-nasional-pada-pendidikan-dasar-dan-menengah/

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Januari 8, 2012 inci Uncategorized

 

LAPORAN DISKUSI “REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME) ATAU PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK”

BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Dewasa ini yang masih menjadi isu panas dalam kualitas pendidikan adalah prestasi siswa dalam bidang ilmu tertentu. Menyadari hal ini pemerintah bersama-sama dengan para ahli di bidang pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Upaya reformasi pendidikan yang telah dibuat oleh banyak pemerintah, termasuk melalui seminar, lokakarya dan materi pelatihan dalam hal mata pelajaran dan metode pembelajaran untuk bidang studi tertentu seperti Sains, Matematika dan lain-lain. Namun belum menampakkan hasil memuaskan, baik dari proses pembelajarannya maupun dari hasil prestasi siswanya.

Dari beberapa mata pelajaran yang disajikan disekolah, matematika adalah salah satu mata pelajaran yang perlu dilatih dalam system penalarannya. Melalui pengajaran matematika diharapkan dapat meningkatkan kapasitas keterampilan dan mengembangkan aplikasi. Selain itu matematika adalah cara berfikir dalam menentukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan matematika adalah adalah metode berfikir logis sistematis, dan konsisten.

Namun matematika merupakan mata pelajaran yang dianggap sebagian siswa sebagai mata pelajaran yang sulit untuk dipelajari. Apalagi dengan peserta didik yang kerja otak kanan lebih dominan dalam aktifitas kesehariannya. Dengan asumsi seperti ini, maka pelajaran matematika akan menjadi sebuah penghambat dalam proses pembelajaran bagi sebagian siswa tersebut. Sehingga dalam pembelajaran perlu memperhatikan kondisi yang perlu dan dapat mendorong atau memotivasi peserta didik dalam pembelajaran yang sedang berlangsung. Namun demikian, dengan berbagai model pembelajaran yang ada memungkinkan guru untuk menyampaikan materi matematika secara menarik dan menyenangkan. Dalam kondisi peserta didik yang fun atau bisa dengan tema “belajar matematika dengan menyenangkan” maka perserta didik dapat mengikuti dengan fun juga, maka mereka tidak merasa kejenuhan dalam belajar matematika. Salah satu pendekatan pembelajaran yang ada adalah Pembelajaran matematika realistic atau yang lebih dikenal dengan RME (Realistic Mathematics Education).

B.     Rumusan Masalah

1.      Apakah RME itu?

2.      Bagaimanakah langkah-langkah RME?

3.      Apa sajakah kelebihan dan kelemahan RME?

4.      Bagaimana penerapannya dalam pembelajaran matematika?

C.     Tujuan

Dari Uraian diatas didapat:

1.      Tujuan umum

a.       Dapat mengetahui apa itu RME.

b.      Dapat mengetahui bagaimanakah langkah-langkah RME.

c.       Dapat mengetahui apa sajakan kelebihan dan kelemahan RME.

d.      Dapat mengetahui bagaimana penerapannya dalam pembelajaran matematika.

2.      Tujuan khusus

Dapat mengaplikasikan RME dalam proses pembelajaran.

D.    Manfaat

1.      Manfaat teoritis

Secara umum dari ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pembelajaran matematika utamanya dalam meningkatkan pemahaman konsep belajar matematika siswa. Secara khusus review ini diharapkan dapat memberi kontribusi pada strategi pembelajaran matematika.

2.      Manfaat praktis

  • Bagi siswa

Proses pembelajaran ini dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap  konsep matematika dengan baik.

  • Bagi guru

Memberikan masukan kepada guru, khususnya guru matematika, bahwa dalam pembelajaran matematika dengan pemberian pertanyaan haruslah dapat   merangsang motivasi siswa agar pembelajaran menjadi lebih menarik dan kreatif.

BAB II
KAJIAN TEORI

A.     Hakikat Pembelajaran

Pembelajaran adalah setiap perubahan perilaku yang relatif permanen, terjadi sebagai hasil dari pengalaman.Pembelajaran dalam dunia pendidikan adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.

Disisi lain pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, tetapi sebenarnya mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar agar peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat memengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seorang peserta didik, namun proses pengajaran ini memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan pengajar saja. Sedangkan pembelajaran menyiratkan adanya interaksi antara pengajar dengan peserta didik.

C.     Pendekatan Realistik

Pengertian pendekatan realistik menurut Sofyan, (2007: 28) “sebuah pendekatan pendidikan yang berusaha menempatkan pendidikan pada hakiki dasar pendidikan itu sendiri”.

Menurut Sudarman Benu, (2000: 405) “pendekatan realistik adalah pendekatan yang menggunakan masalah situasi dunia nyata atau suatu konsep sebagai titik tolak dalam belajar matematika”.

 

BAB III

PEMBAHASAN

A.     Sejarah dan Pengertian RME

1.      Sejarah RME

Pendidikan matematika realistik atau Realistic Mathematics Education (RME) mulai berkembang karena adanya keinginan meninjau kembali pendidikan matematika di Belanda yang dirasakan kurang bermakna bagi pebelajar. Gerakan ini mula-mula diprakarsai oleh Wijdeveld dan Goffre (1968) melalui proyek Wiskobas. Selanjutnya bentuk RME yang ada sampai sekarang sebagian besar ditentukan oleh pandangan Freudenthal (1977) tentang matematika. Menurut pandangannya matematika harus dikaitkan dengan kenyataan, dekat dengan pengalaman anak dan relevan terhadap masyarakat, dengan tujuan menjadi bagian dari nilai kemanusiaan. Selain memandang matematika sebagai subyek yang ditransfer, Freudenthal menekankan ide matematika sebagai suatu kegiatan kemanusiaan. Pelajaran matematika harus memberikan kesempatan kepada pebelajar untuk “dibimbing” dan “menemukan kembali” matematika dengan melakukannya. Artinya dalam pendidikan matematika dengan sasaran utama matematika sebagai kegiatan dan bukan sistem tertutup. Jadi fokus pembelajaran matematika harus pada kegiatan bermatematika atau “matematisasi” (Freudental,1968).

Kemudian Treffers (1978, 1987) secara eksplisit merumuskan ide tersebut dalam 2 tipe matematisasi dalam konteks pendidikan, yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Pada matematisasi horizontal siswa diberi perkakas matematika yang dapat menolongnya menyusun dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Matematisasi vertikal di pihak lain merupakan proses reorganisasi dalam sistem matematis, misalnya menemukan hubungan langsung dari keterkaitan antar konsep-konsep dan strategi-strategi dan kemudian menerapkan temuan tersebut. Jadi matematisasi horisontal bertolak dari ranah nyata menuju ranah simbol, sedangkan matematisasi vertikal bergerak dalam ranah simbol. Kedua bentuk matematisasi ini sesungguhnya tidak berbeda maknanya dan sama nilainya (Freudenthal, 1991). Hal ini disebabkan oleh pemaknaan “realistik” yang berasal dari bahasa Belanda “realiseren” yang artinya bukan berhubungan dengan kenyataan, tetapi “membayangkan”. Kegiatan “membayangkan” ini ternyata akan lebih mudah dilakukan apabila bertolak dari dunia nyata, tetapi tidak selamanya harus melalui cara itu.

2.      Pengertian RME

RME  adalah pendekatan pembelajaran yang bertolak dari hal-hal yang ‘real’ bagi siswa, menekankan keterampilan ‘proses of doing mathematics’, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri (‘student inventing’ sebagai kebalikan dari ‘teacher telling’) dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok. Pada pendekatan ini  peran guru tak lebih dari seorang fasilitator, moderator atau evaluator sementara siswa berfikir, mengkomunikasikan ‘reasoning-nya’, melatih nuansa demokrasi dengan menghargai pendapat orang lain. Secara umum, teori RME terdiri dari  lima karakteristik yaitu:

1)      penggunaan real konteks sebagai titik tolak belajar matematika

2)      penggunaan model yang menekankan penyelesaian secara informal sebelum menggunakan cara formal atau rumus.

3)      mengaitkan sesama topik dalam matematika

4)      penggunaan metode interaktif dalam belajar matematika

5)      menghargai ragam jawaban dan kontribusi siswa.

Namun demikian, hendaknya guru  juga memperhatikan 3 aspek penilaian yang harus dicapai dalam pembelajaran, yaitu aspek pemahaman konsep, aspek penalaran dan komunikasi, serta aspek pemecahan masalah. Dengan memperhatikan ketiga aspek tersebut maka guru dapat mengembangkan pendekatan atau model dalam proses pembelajaran serta media yang tepat dalam mendukung belajar peserta didik dalam kelas. Dengan suasana yang menyenangkan diharapkan peserta didik tidak jenuh lagi dalam belajar matematika, namun sebaliknya,  diharapkan peserta didik dapat termotivasi untuk belajar dengan menyenangkan.

B.     Langkah-langkah Metode RME

Untuk dapat melaksanakan PMRI kita harus tahu prinsip-prinip yang
digunakan PMRI dan karakteristik PMRI.

a.      Terdapat 5 prinsip utama dalam pembelajaran matematika realistik, yaitu:

1.       Didominasi oleh masalah- masalah dalam konteks, melayani dua hal yaitu sebagai sumber dan sebagai terapan konsep matematika.

2.       Perhatian diberikan pada pengembangan model”situasi skema dan simbol”.

3.       Sumbangan dari para siswa, sehingga siswa dapat membuat pembelajaran menjadi konstruktif dan produktif.

4.       Interaktif sebagai karakteristik diproses pembelajaran matematika.

5.       Intertwinning (membuat jalinan) antar topik atau antar pokok bahasan.

Gravemeijer (dalam Fitri. 2007: 10) menyebutka tiga prinsip kunci dalam pendekatan realistik, ketiga kunci tersebut adalah:

1.      Penemuan kembali secara terbimbing/ matematika secara progresif(Gunded Reinvention/ Progressive matematizing). Dalam menyeleseikan topik- topik matematika, siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama, sebagai koknsep- konsep matematika dikemukakan. Siswa diberikan masalah nyata yang memungkinkan adanya penyeleseian yang berbeda.

2.      Didaktif yang bersifat fenomena(didaktial phenomology) topik matematika yang akan diajarkan diupayakan berasal dari fenomenan sehari-hari.

3.      Model yang dikembangkan sendiri(self developed models) dalam memecahkan ‘contextual problem”, mahasiswa diberi kesempatan untuk mengembangkan model mereka sendiri. Pengembangan model ini dapat berperan dalam menjembatani pengetahuan informal dan pengetahuan formal serta konkret dan abstrak.

b.      Karakteristik PMRI

Menurut Grafemeijer (dalam fitri, 2007: 13) ada 5 karakteristik pembelajaran matematika realistik, yaitu sebagai berikut:

1.       Menggunakan masalah kontekstual

Masalah konsektual berfungsi sebagai aplikasi dan sebagai titik tolak dari mana matematika yang digunakan dapat muncul. Bagaimana masalah matematika itu muncul(yang berhubungan dengan kehidupan sehari- hari).

2.       Menggunakan model atau jembatan

Perhatian diarahkan kepada pengembangan model, skema, dan simbolisasi dari pada hanya mentrasfer rumus. Dengan menggunakan media pembelajaran siswa akan lebih faham dan mengerti tentang pembelajaran aritmatika sosial.

3.       Menggunakan kontribusi siswa

Kontribusi yang besar pada saat proses belajar mengajar diharapkan dari konstruksi murid sendiri yang mengarahkan mereka dari metode informal ke arah metode yang lebih formal. Dalam kehidupan sehari- hari diharapkan siswa dapat membedakan pengunaan aritmatika sosial terutama pada jual beli. Contohnya: harga baju yang didiskon dengan harga baju yang tidak didiskon.

4.       Interaktivitas
Negosiasi secara eksplisit, intervensi, dan evaluasi sesama murid dan guru adalah faktor penting dalam proses belajar secara konstruktif dimana strategi informal siswa digunakan sebagai jembatan untuk menncapai strategi formal. Secara berkelompok siswa diminta untuk membuat pertanyaan kemudian diminta mempresentasikan didepan kelas sedangkan kelompok yang lain menanggapinya. Disini guru bertindak sebagai fasilitator.

5.       Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya (bersifat holistik)

Aritmatika sosial tidak hanya terdapat pada pembelajaran matematika saja, tetapi juga terdapat pada pembelajaran yang lainnya, misalnya pada akutansi, ekonomi, dan kehidupan sehari- hari.

c.       Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik

Berdasarkan prinsip dan karakteristik PMR serta dengan memperhatikan pendapat yang telah dikemukakan di atas, maka dapatlah disusun suatu langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan PMR yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

  • Langkah 1: Memahami masalah kontekstual

Guru memberikan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari-hari kepada siswa dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut,serta memberi kesempatan kepada siswa untuk menanyakan masalah yang belum di pahami. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah karakteristik pertama yaitu menggunakan masalah kontekstual sebagai titik tolak dalam pembelajaran, dan karakteristik keempat yaitu interaksi

 

  • Langkah 2: Menjelaskan masalah kontekstual

Jika dalam memahami masalah siswa mengalami kesulitan, maka guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran seperlunya, terbatas pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan yang belum dipahami.

  • Langkah 3 : Menyelesaikan masalah

Siswa mendeskripsikan masalah kontekstual, melakukan interpretasi aspek matematika yang ada pada masalah yang dimaksud, dan memikirkan strategi pemecahan masalah. Selanjutnya siswa bekerja menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang dimilikinya, sehingga dimungkinkan adanya perbedaan penyelesaian siswa yang satu dengan yang lainnya. Guru mengamati, memotivasi, dan memberi bimbingan terbatas, sehingga siswa dapat memperoleh penyelesaian masalah-masalah tersebut. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini yaitu karakteristik kedua menggunakan model

  • Langkah 4 : Membandingkan jawaban

Guru meminta siswa membentuk kelompok secara berpasangan dengan teman sebangkunya, bekerja sama mendiskusikan penyelesaian masalah-masalah yang telah diselesaikan secara individu (negosiasi, membandingkan, dan berdiskusi). Guru mengamati kegiatan yang dilakukan siswa, dan memberi bantuan jika dibutuhkan.
Dipilih kelompok berpasangan, dengan pertimbangan efisiensi waktu. Karena di sekolah tempat pelaksanaan ujicoba, menggunakan bangku panjang. Sehingga kelompok dengan jumlah anggota yang lebih banyak, membutuhkan waktu yang lebih lama dalam pembentukannya. Sedangkan kelompok berpasangan tidak membutuhkan waktu, karena siswa telah duduk dalam tatanan kelompok berpasangan. Setelah diskusi berpasangan dilakukan, guru menunjuk wakil-wakil kelompok untuk menuliskan masing-masing ide penyelesaian dan alasan dari jawabannya, kemudian guru sebagai fasilitator dan modarator mengarahkan siswa berdiskusi, membimbing siswa mengambil kesimpulan sampai pada rumusan konsep/prinsip berdasarkan matematika formal (idealisasi, abstraksi). Karakteristik PMR yang muncul yaitu interaksi

  • Langkah 5: Menyimpulkan

Dari hasil diskusi kelas, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan suatu rumusan konsep/prinsip dari topik yang dipelajari. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah adanya interaksi antar siswa dengan guru.

C.     Kelebihan dan Kelemahan RME

Beberapa keunggulan dari pembelajaran metematika realistik antara lain:

1.       Pelajaran menjadi cukup menyenangkan bagi siswa dan suasana tegang tidak tampak.

2.       Materi dapat dipahami oleh sebagian besar siswa.

3.       Alat peraga adalah benda yang berada di sekitar, sehingga mudah didapatkan.

4.       Guru ditantang untuk mempelajari bahan.

5.       Guru menjadi lebih kreatif membuat alat peraga.

6.       Siswa mempunyai kecerdasan cukup tinggi tampak semakin pandai.

Beberapa kelemahan dari pembelajaran metematika realistik antara lain:

1.       Sulit diterapkan dalam suatu kelas yang besar(40- 45 orang).

2.       Dibutuhkan waktu yang lama untuk memahami materi pelajaran.

3.       Siswa yang mempunyai kecerdasan sedang memerlukan waktu yang lebih lama untuk mampu memahami materi pelajaran.

D.    Penerapan RME dalam Pembelajaran

Secara umum, teori RME terdiri dari  lima karakteristik  yang telah dibahas pada sub bab sebelumnya, Namun demikian, hendaknya guru  juga memperhatikan 3 aspek penilaian yang harus dicapai dalam pembelajaran, yaitu aspek pemahaman konsep, aspek penalaran dan komunikasi, serta aspek pemecahan masalah. Dengan memperhatikan ketiga aspek tersebut maka guru dapat mengembangkan pendekatan atau model dalam proses pembelajaran serta media yang tepat dalam mendukung belajar peserta didik dalam kelas. Dengan suasana yang menyenangkan diharapkan peserta didik tidak jenuh lagi dalam belajar matematika, namun sebaliknya, diharapkan peserta didik dapat termotivasi untuk belajar dengan menyenangkan.

Sebagai ilustrasi berikut ini contoh soal dengan menggunakan kelima karakteristik RME untuk mengajarkan konsep pembagian di Sekolah Dasar pada usia 8 atau 9 tahun.  Guru mengenalkan masalah yang konteksnya real yaitu:  Pedagang telur.

Ibu membeli telur sebanyak 81 butir untuk membuat kue lebaran. Enam telur akan dibungkus pada satu kantong plastik. Berapa banyak kantong plastik yang dibutuhkan?

Ilustrasinya adalah sebagai berikut:

Guru menggambarkan petunjuk berupa sketsa kantong plastik sebagai model pada papan tulis.

Siswa mulai bekerja dalam suatu group 3 atau 4 orang. Guru berjalan keliling kelas bertanya seadanya tentang proses memecahkan masalah. Siswa senang sekali akan proses belajar seperti ini.   Setelah sekitar 10 menit, guru mengakhiri bagian pelajaran ini. Siswa di minta untuk menunjukkan dan menjelaskan solusinya dalam diskusi yang interaktif. Ana hanya menyalin  sketsa yang ada di papan tulis sebanyak yang ia butuhkan untuk mengantongi.

Siswa lain, Ima, memulai dengan cara yang sama, tetapi setelah menggambar dua sketsa kantong plastik, ia mengubah ke sketsa yang lebih representatif: segi empat dengan angka 6. Setelah menggambar  dua kantong plastik, dia sadar bahwa isi dari lima kantong plastik sama dengan 30 butir telur.  Jadi melalui 30 ke 60 dan 72 serta 78.  Dan akhirnya ia menambahkan tiga  telur pada kantong plastik yang terakhir

Siswa ke tiga, Riza, mempunyai jawaban yang lebih jauh dalam matematisasi masalah.   Meskipun dia mulai dengan menggambar kantong plastik sebagai model, namun ia segera menggunakan konsep perkalian yang ia baru pelajari pada pelajaran yang lalu. Ia tulis 6 x 6 = 36 dan didobelkannya 36 ke 72 ditambahkannya 2 kantong plastik tadi untuk mendapatkan kapasitas 84.  Selesai.

Jika kita lihat ketiga macam solusi (dan tentunya banyak solusi lain) kita catat adanya suatu perbedaan level ‘real’ matematika pada soal ‘real-world’ ini.  Banyak guru akan mendebat bahwa jawaban pertama tidak ada matematikanya sama sekali. Tetapi visualisasi dan skematisasi (contoh informal matematika) adalah alat yang sangat penting dan berguna dalam matematisasi. Solusi ketiga, terkaitnya antara konsep perkalian dengan konsep baru yaitu pembagian,  membuat matematika lebih jelas.

BAB IV

SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A.     Simpulan

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:

  1. Dimensi pertama dalam model adalah tanggung jawab guru untuk melakukan penawaran Kondisi yang sesuai untuk belajar matematika siswa.  Instruksi yang terpusat pada guru dikonseptualisasikan dalam cara yang lebih normatif, dimana guru terutama seharusnya menjelaskan prosedur dan memberikan arah, yang diyakini cukup dalam proses pembelajaran.
  2. Dimensi kedua dalam model adalah tanggung jawab guru untuk memulai Siswa untuk membangun pengetahuan matematika mereka sendiri. Produk yang mencerminkan pendapat siswa dan guru tentang pengalaman mereka sendiri pelajaran matematika menunjukkan kesempatan bagi penalaran siswa, untuk menggunakan pengalaman mereka, untuk membangun pengetahuan matematika. 
  3. Dimensi Specific Mathematics Content memungkinkan untuk menyoroti keberadaan konten matematika yang relevan di kelas matematika, menggambarkan sejauh mana guru mengambil tanggung jawab untuk menekankan isi dan bukan hanya bentuk kerja yang diwakili dalam dua faktor sebelumnya. 

B.     Implikasi

Dari kesimpulan di atas memberikan implikasi bahwa penerapan pendekatan matematika realistik ini dapat menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan pemahaman siswa dalam memahami materi matematika. Penerapan pendekatan matematika realistik diharapkan dapat menarik minat belajar siswa dan mengarahkan siswa untuk aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran yaitu menyelidiki dan memahami konsep matematika melalui suatu masalah dalam situasi dunia nyata. Sehingga, siswa merasa senang dalam mengikuti proses pembelajaran dikelas dan siswa lebih mudah dalam memahami materi yang sedang dipelajari.

C.     Saran

Berdasarkan simpulan dari penulisan ini untuk mencapai kesuksesan dalam pembelajaran realistik penulis memberikan saran – saran sebagai berikut:

  1. Diperlukan adanya kesadaran siswa dalam bertanggung jawab terhadap setiap pelajaran disekolah.
  2. Diperlukan adanya kesadaran antara pengajar dengan siswa agar pembelajaran realistik dapat berjalan dengan baik.
  3. Setiap pengajar diharapkan menguasai bermacam- macam metode pembelajaran.
 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Januari 8, 2012 inci Uncategorized

 

REVIEW BUKU METODE PENELITIAN PENDIDIKAN BAB VI : PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.     Latar Belakang

Pada awalnya, metode Penelitian dan Pengembangan (Research and Development) mulai diterapkan pada dunia industri dan merupakan ujung tombak dari suatu industri dalam menghasilkan produk-poduk baru yang dibutuhkan oleh pasar. Hampir 4% biaya digunakan untuk penelitian dan pengembangan dalam bidang industri, bahkan untuk bidang-bidang tertentu (komputer, farmasi) hampir melebihi 4% (Borg and Gall:1989). Dalam bidang sosial dan pendidikan, peranan Research and Development masih sangat kecil dan kurang dari 1% dari biaya pendidikan secara keseluruhan. Unfortunately, R & D still plays a minor role in education. Less than one percent of education expenditures are for this purpose. This is probably one of the main reason why progress in education has logged for behind progress in other field. ( Borg and Gall, 1989:773)

Pada masa lalu, penelitian dalam bidang pendidikan tidak diarahkan pada pengembangan suatu produk, tetapi ditujukan untuk menemukan pengetahuan baru berkenaan dengan fenomena-fenomena yang bersifat fundamental, serta praktik-praktik pendidikan. Penelitian tentang fenomena-fenomena fundamental pendidikan tersebut dilakukan melalui penelitian dasar (basic research), sedang penelitian tentang praktik pendidikan dilakukan melalui penelitian terapan (applied research). Beberapa penelitian terapan secara sengaja diarahkan pada pengembangan produk, beberapa penelitian lain mengembangkan suatu produk secara tidak sengaja, karena dalam penelitiannya mengandung atau menuntut pengembangan produk.

Penelitian dan pengembangan merupakan metode penghubung atau pemutus kesenjangan antara penelitian dasar dengan penelitian terapan. Sering dihadapi adanya kesenjangan antara hasil-hasil penelitian dasar yang bersifat teoritis dengan penelitian terapan yang bersifat praktis. Kesenjangan ini dapat dihilangkan atau disambungkan dengan penelitian dan pengembangan. Sesuatu produk yang dihasilkan tentu saja memiliki karakteristik-karakteristik tertentu. Karakteristik tersebut merupakan perpaduan dari sejumlah konsep, prinsip, asumsi, hipotesis, prosedur berkenaan dengan sesuatu hal yang telah ditemukan atau dihasilkan dari penelitian dasar.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana  peranan penelitian dan pengembangan?

2.      Apa  saja langkah- langkah yang digunakan  dalam penelitian dan pengembangan?

3.      Bagaimanakah tahap-tahap penelitian dan pengembangan yang dimodifikasi?

 C.     Tujuan

1.      Tujuan umum

Review ini bertujuan untuk memaparkan penelitian dan pengembangan.

2.      Tujuan khusus

a.       Untuk mengetahui peranan penelitian dan pengembangan.

b.      Untuk mengetahui langkah- langkah yang digunakan dalam penelitian dan pengembangan

c.       Untuk mengetahui tahap-tahap penelitian dan pengembangan yang telah dimodifikasi

 D.    Manfaat

1.      Manfaat teoritis

Secara umum review ini memberikan sumbangan keilmuan  tentang  penelitian dan pengembangan. Secara khusus, review ini mmeberi urunan teori tentang penelitian dan pengembangan.

2.      Manfaat praktis

Pada tingkatan praktis review ini memberikan sumbangan kepada para peneliti dalam melakukan penelitian

 

BAB II

KAJIAN TEORI

 

A.     Pengertian Penelitian dan Pengembangan

Penelitian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data yang dilakukan secara sistematis dan obyektif untuk memecahkan suatu persoalan atau ingin menguji suatu hipotesis untuk mengembangkan prinsip-prisip umum. Sedangkan pengembangan merupakan proses atau cara yang dilakukan untuk mengembangkan sesuatu menjadi baik atau sempurna.

Sujadi (2003:164) mengemukakan penelitian dan pengembangan atau Research and development adalah suatu proses atau langkah-langkah untuk mengembangkan suatu produk baru, atau menyempurnakan produk yang telah ada, yang dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan Borg dan Gall (1983) memberikan batasan tentang penelitian dan pengembangan sebagai ”a process used develop and validate educational product” yaitu usaha untuk mengembangkan dan memvalidasi produk-produk yang digunakan dalam pendidikan. Pengertian yang hampir sama jugs dikemukakan oleh Asim(2001:1).

Begitu pula dengan Suhadi Ibnu (2001:5) yang memberikan pengertian tentang penelitian dan pengembangan sebagai jenis penelitian yang ditujukan untuk menghasilkan suatu produk hardware atau software melalui prosedur yang khas yang biasanya diawali dengan need assessment atau analisis kebutuhan, dilanjutkan dengan proses pengembangan dan diakhiri dengan evaluasi.

 

B.     Metode Penelitian dan Pengembangan

Ada tiga macam metode yang digunakan dalam penelitian dan pengembangan, yaitu:

1.      Metode penelitian deskriptif

Metode ini digunakan dalam penelitian awal untuk menghimpun data tentang kondisi yang ada, meliputi a) kondisi produk-produk yang sudah ada sebagai bahan perbandingan atau bahan dasar untuk produk yang akan dikembangkan, b) kondisi pihak pengguna, seperti sekolah, guru, kepala sekolah, siswa, serta pengguna lainnya, c) kondisi faktor-faktor pendukung dan penghambat pengembangan dan penggunaan produk yang akan dihasilkan, mencakup unsure manusia, sarana prasarana, biaya, pengelolaan dan lingkungan.

2.      Metode evaluatif

Metode ini digunakan untuk mengevaluasi proses uji coba pengembangan suatu produk. Produk dikembangkan melalui serangkaian uji coba dan setiap uji coba diadakan evaluasi baik evaluasi hasil maupun evaluasi proses. Berdasarkan temuan-temuan hasil uji coba diadakan penyempurnaan.

3.      Metode eksperimen

Metode ini digunakan untuk menguji keampuhan dari produk yang dihasilkan. Walaupun dalam tahap uji coba telah ada evaluasi, tetapi pengukuran tersebut masih dalam rangka pengembangan produk dan belum ada kelompok pembanding. Dalam eksperimen telah diadakan pengukuran pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang dipilih secara acak.

 

BAB III

ISI

 

A.     Konsep dan Pentingnya Penelitian dan Pengembangan

Penelitian dan pengembangan atau research and development (R&D) adalah sebuah strategi penelitian yang cukup ampuh untuk memperbaiki praktik. Penelitian dan pengembangan adalah suatu proses atau langkah-langkah untuk mengembangkan suatu produk baru atau menyempurnakan produk yang telah ada yang dapat dipertanggungjawabkan.

Penelitian dan pengembangan merupakan metode penghubung atau pemutus kesenjangan antara penelitian dasar dan penelitian terapan. Sehingga ketiga penelitian tersebut saling berkaitan dan mendukung satu sama lain. Jika penelitian dasar menghasilkan konsep-konsep, prisip-prinsip, teori-teori, maka penelitian dan pengembangan mengembangkan model-model proses, bahan, sarana-fasilitas, sedangkan penelitian terapan menerapkan praktik pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran.

Beberapa metode yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian dan pengembangan yaitu metode deskriptif, evaluatif, dan eksperimental. Metode penelitian deskriptif digunakan dalam penelitian awal untuk menghimpun data tentang kondisi yang ada. Metode evaluatif digunakan untuk mengevaluasi proses uji coba pengembangan suatu produk. Sedangkan metode eksperimen digunakan untuk menguji keampuhan dari produk yang dihasilkan.

 B.     Langkah-Langkah Penelitian dan Pengembangan

Menurut Borg dan Gall (1989) ada sepuluh langkah pelaksanaan penelitian dan pengembangan, yaitu:

1.      Penelitian dan pengumpulan data(research and information collecting), meliputi:

a.       Pengukuran kebutuhan

Kriteria yang dipertimbangkan dalam memilih produk yang akan dikembangkan, adalah:

1)      Apakah produk yang akan dibuat penting untuk bidang pendidikan?

2)      Apakah produk yang akan dikembangkan memiliki nilai ilmu , keindahan dan kepraktisan?

3)      Apakah para pengembang memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan pengalaman dalam mengembangkan produk ini?

4)      Dapatkah produk tersebut dikembangkan dalam jangka waktu yang tersedia?

b.      Studi literatur

Studi ini ditujukan untuk menemukan konsep-konsep atau landasan-landasan teoritis yang memperkuat suatu produk, ruang lingkup suatu produk, keluasaan penggunaan, kondisi-kondisi pendukung agar produk dapat digunakan secara optimal, keunggulan dan kelemahan, serta langkah-langkah yang paling tepat dalam penggunaan produk tersebut.

c.       Penelitian dalam skala kecil

Kedua hasil studi diatas masih perlu dilengkapi dengan penelitian langsung ke lapangan tentang bagaimana hal yang akan diproduksi itu dilaksanakan.

d.      Pertimbangan-pertimbangan dari segi nilai.

2.      Perencanaan (planning)

Perencanaan meliputi rancangan produk yang akan dihasilkan (minimal mencakup tujuan penggunaan produk, siapa penggunanya, deskripsi dari komponen-komponen produk dan penggunannya) serta proses pengembangan.

3.      Pengembangan draf produk (develop preliminary form of product)

Pengembangan draf produk ini meliputi pengembangan bahan pembelajaran, proses pembelajaran, dan instrument evaluasi.

4.      Uji coba awal (preliminary field testing)

Uji coba di sekolah lebih baik karena berpraktik dalam situasi yang sesungguhnya. Uji coba di lapangan ada 1 sampai 3 sekolah dengan 6 sampai 12 subjek uji coba (guru). Selama uji coba diadakan pengamatan, wawancara dan pengedaran angket.

5.      Revisi hasil uji coba (main product revision)

Memperbaiki hasil uji coba.

6.      Uji coba lapangan (main field testing)

Pada tahap ini, masih difokuskan pada pengembangan dan penyempurnaa materi produk, belum memperhatikan kelayakan dalam konteks populasi. Uji coba dilakukan lebih luas yaitu pada 5 sampai 15 sekolah dengan 30 sampai 100 orang subjek uji coba. Data kuantitatif penampilan guru sebelum dan sesudah menggunakan model dikumpulkan. Hasil-hasil pengumpulan data dievaluasi dan kalau mungkin dibandingkan dengan kelompok pembanding.

7.      Penyempurnaan produk hasil uji coba lapangan (operational product revision)

Dalam penyempurnaan produk hasil uji coba lapangan kelayakan produk dalam konteks populasi mulai diperhatikan.

8.      Uji coba pelaksanaan lapangan (operational field testing)

Dilaksanakan pada 10 sampai 30 sekolah melibatkan 40 sampai dengan 200 subjek. Pengujian dilakukan melalui angket, wawancara, dan observasi kemudian analisis hasilnya.

9.      Penyempurnaan produk akhir (final product revision)

Penyempurnaan dalam tahap akhir ini didasarkan pada masukan uji pelaksanaan lapangan.

10.  Desiminasi dan implementasi (dissemination and implementation)

Diseminasi merupakan langkah untuk mensosialisasikan hasil. Sehingga diseminasi dari produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga di bawah Depdiknas sangat mudah. Berbeda dengan produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga swasta/ perorangan yang membutuhkan sosialisasi yang cukup panjang dan lama.

Jika kesepuluh langkah penelitian dan pengembangan tersebut diikuti dengan benar, dapat menghasilkan sebuah produk pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan yang siap dioperasikan atau digunakan di sekolah-sekolah.

 C.      Modifikasi Langkah-Langkah Penelitian dan Pengembangan

Menurut Sukmadinata (2005) secara garis besar langkah penelitian dan pengembangan yang telah dikembangkan olehnya terdiri atas tiga tahap, yaitu:

1.      Studi Pendahuluan

Studi ini merupakan tahap awal untuk pengembangan yang terdiri atas:

a.       Studi kepustakaan

Studi kepustakaan merupakan kajian untuk mempelajari konsep-konsep atau teori-teori yang berkenaan dengan model yang akan dikembangkan.

 b.      Survei lapangan

Survei lapangan dilaksanakan untuk mengumpulkan data berkenaan dengan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran matematika di sekolah dasar terutama yang berkenaan dengan pengembangan kemampuan koneksi matematika. Data yang dikumpulkan meliputipersepsi, motivasi dan keterampilan guru mengembangkan kemampuan koneksi matematika, pelaksanaan pembelajaran, factor-faktor pendukung pembelajaran, aspek siswa yang meliputi kemampuan, sikap, motivasi dan minat belajar matematika. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, studi documenter, dan pengamatan pada waktu guru mengajar.

c.       Penyusunan draf produk

Draf produk disusun berdasarkan data yang telah diperoleh dari survey lapangan dan mengacu pada dasar-dasar teori atau konsep yang disimpulkan dari hasil studi kepustakaan. Draf tersebut selanjutnya direview dalam sebuah pertemuan yang dihadiri oleh para ahli dalam bidang kurikulum dan pembelajaran, pendidikan matematika, dan beberapa guru senior yang punya pengalaman dalam pembelajaran dan pelatihan matematika. Selanjutnya, draf disempurnakan berdasarkan masukan-masukan dari pertemuan review kemudian draf digandakan sesuai kebutuhan.

2.      Studi Pengembangan

Studi pengembangan yang merupakan kelanjutan studi pendahuluan memiliki dua langkah:

a.       Uji coba terbatas

Dalam pelaksanaan uji coba terbatas, guru-guru pelaksana uji coba melaksanakan pembelajaranberdasarkan RPP yang telah mereka susun. Tugas peneliti adalah mengamati , mencatat hal-hal penting yang dilakukan guru dan siswa meliputi kelebihan dan kelemahan guru serta perkembangan siswa.

Peneliti memberikan catatan penyempurnaan terhadap draf model pembelajaran yang digunakan. Pada akhir pembelajaran satu RPP para peneliti mengadakan pertemuan membicarakan temuan-temuan dari uji coba  kemudian menyempurnakan model pembelajaran yang dikembangkan.

 b.      Uji coba lebih luas

Uji coba lebih luas dilakukan dengan sampel sekolah dan guru yang lebih sekolah yang diambil berbeda dengan uji coba terbatas. Penentuan sampel dilakukan berdasarkan stratified cluster random. Untuk langkah-langkah kegiatan selanjutnya sama dengan uji coba terbatas.

3.      Uji produk dan sosialisasi hasil

Uji produk merupakan tahap pengujian keampuhan dari produk yang dihasilkan. Pengujian dilakukan dengan menggunakan metode eksperimental dimana terdapat dua kelompok sampel, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

Pelaksanaan pengujian ada dua tahap, yaitu:

a.       Pre tes (dilakukan sebelum dimulai pembelajaran)

b.      Pos tes (dilakukan setelah selesai pembelajaran)

Setelah selesai eksperimen dan pemberian post tes, diadakan analisis statistic uji perbedaan. Uji perbedaan yang dihitung adalah antara hasil pre tes dengan post tes pada kelompok eksperimen, pada kelompok kontrol, uji perbedaan pre tes antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, post tes antara kelompok kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, dan antara perolehan kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Produk yang dihasilkan dihasilkan disosialisasikan ke sekolah-sekolah untuk diterapkan.

 

BAB IV

PEMBAHASAN

 

A.     Peranan Penelitian dan Pengembangan

Penelitian dan pengembangan atau dalam bahasa Inggris disebut Research and development adalah metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut. Sedangkan di dunia pendidikan, penelitian dan pengembangan yang lebih dikenal dengan Educational Research and Development merupakan suatu proses dalam mengembangkan dan memvalidasi produk pendidikan yang dapat berupa materi ajar misalkan buku dan modul, media, instrument evaluasi, perpustakaan atau laboratorium, ataupun model-model pendidikan, pembelajaran, pelatihan, maupun bimbingan.

Untuk dapat menghasilkan produk tertentu digunakan penelitian yang bersifat analisis kebutuhan. Sedangkan untuk menguji keefektifan produk tersebut supaya dapat berfungsi di masyarakat luas, maka diperlukan penelitian untuk menguji keefektifan produk tersebut. Jadi penelitian dan pengembangan bersifat longitudinal (bertahap bisa multy years). Sebagai contoh, Penelitian Hibah Bersaing adalah penelitian yang menghasilkan produk, sehingga metode yang digunakan adalah metode penelitian dan pengembangan (research and development).

Penelitian dan pengembangan memiliki fungsi:

1.      Sebagai strategi memperbaiki praktik

2.      Sebagai proses untuk mengembangkan suatu produk baru atau menyempurnakan produk yang telah ada yang dapat dipertanggungjawabkan. Produk tersebut tidak selalu berbentuk benda atau perangkat keras.seperti modul, alat bantu pembelajaran dikelas atau dilaboratorium tetapi bisa juga perangkat lunak seperti program komputer untuk pengolahan data, perpustakaan atau laboratorium, ataupun model-model pendidikan, pembelajaran , pelatihan , bimbingan, evaluasi, manajemen.

3.      Sebagai  penghubung kesenjangan penelitian dasar dan penelitian terapan. Penelitian dan pengembangan merupakan metode penghubung atau pemutus kesenjangan antara penelitian dasar dengan penelitian terapan. Sering dihadapi adanya kesenjangan antara hasil-hasil penelitian yang bersifat teoristis dengan penelitian terapan yang bersifat praktis. Kesenjangan ini dapat diminimalkan dengan penelitian dan pengembangan. Suatu produk yang akan dihasilkan apakah itu perangkat keras atau perangkat lunak, memiliki karakteristik tertentu. Karakteristik tersebut merupakan perpaduan dari sejmulah konsep prinsip, asumsi , hipotesis, prosedur berkenaan dengan sesuatu hal yang telah ditemukan atau yang dihasilkan dari penelitian dasar.

B.     Langkah-Langkah Penelitian dan Pengembangan

Menurut Borg dan Gall (1989) ada  langkah pelaksanaan strategi penelitian dan pengembangan yang dilakukan untuk menghasilkan produk tertentu dan untuk menguji keefektifan produk yang dimaksud. Adapun langkah-langkah penelitian dan pengembangan adalah :

1.      Potensi dan masalah

Penelitian ini dapat berangkat dari adanya potensi atau masalah. Potensi adalah segala sesuatu yang bila didayagunakan akan memiliki suatu nilai tambah pada produk yang diteliti. Pemberdayaan akan berakibat pada peningkatan mutu dan akan meningkatkan pendapatan atau keuntungan dari produk yang diteliti. Masalah juga bisa dijadikan sebagai potensi, apabila kita dapat mendayagunakannya. Sebagai contoh sampah dapat dijadikan potensi jika kita dapat merubahnya sebagai sesuatu yang lebih bermanfaat. Potensi dan masalah yang dikemukakan dalam penelitian harus ditunjukkan dengan data empirik.

Masalah akan terjadi jika terdapat penyimpangan antara yang diharapkan dengan yang terjadi. Masalah ini dapat diatasi melalui R&D dengan cara meneliti sehingga dapat ditemukan suatu model, pola atau sistem penanganan terpadu yang efektif yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut.

2.      Mengumpulkan Informasi dan Studi Literatur

Setelah potensi dan masalah dapat ditunjukan secara faktual, maka selanjutnya perlu dikumpulkan berbagai informasi dan studi literatur yang dapat digunakan sebagai bahan untuk perencanaan produk tertentu yang diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut.

Studi ini ditujukan untuk menemukan konsep-­konsep atau landasan-landasan teoretis yang memperkuat suatu, produk. Produk pendidikan, terutama produk yang berbentuk model, program, sistem, pendekatan, software dan sejenisnya memiliki dasar-dasar konsep atau teori tertentu. Untuk menggali konsep-konsep atau teori-teori yang mendukung suatu produk perlu dilakukan kajian literatur secara intensif. Melalui studi literatur juga dikaji ruang lingkup suatu produk, keluasan penggunaan, kondisi-kondisi pendukung agar produk dapat digunakan atau diimplementasikan secara optimal, serta keunggulan dan keter­batasannya. Studi literatur juga diperlukan untuk mengetahui langkah-langkah yang paling tepat dalam pengembangan produk tersebut.

Produk yang dikembangkan dalam pendidikan dapat berupa perangkat keras seperti alat bantu pembelajaran, buku, modul atau paket belajar, dll., atau perangkat lunak seperti program-program pendidikan dan pembelajaran, model-model pendidikan, kurikulum, implementasi, evaluasi, instrumen pengukuran, dll. Beberapa kriteria yang harus dipertimbangkan dalam memilih produk yang akan dikembangkan.

a.       Apakah produk yang akan dibuat penting untuk bidang pendidikan?

b.      Apakah produk yang akan dikembangkan memiliki nilai ilmu, keindahan dan kepraktisan?

c.       Apakah para pengembang memiliki pengetahuan, keterampilan dan pengalaman dalam mengembangkan produk ini?

d.      Dapatkah produk tersebut dikembangkan dalam jangka waktu yang tersedia?

3.      Desain Produk

Produk yang dihasilkan dalam produk penelitian research and development bermacam-macam. Desain produk harus diwujudkan dalam gambar atau bagan, sehingga dapat digunakan sebagai pegangan untuk menilai dan membuatnya serta memudahkan pihak lain untuk memulainya. Desain sistem ini masih bersifat hipotetik karena efektivitasya belum terbukti, dan akan dapat diketahui setelah melalui pengujian-pengujian.

Dalam hal ini, desain produk masih berupa perencanaan yang  meliputi rancangan produk yang akan dihasilkan (minimal mencakup tujuan penggunaan produk, siapa penggunanya, deskripsi dari komponen-komponen produk dan penggunannya) serta proses pengembangan.

4.      Validasi Desain

Validasi desain merupakan proses kegiatan untuk menilai apakah rancangan produk, dalam hal ini sistem kerja baru secara rasional akan lebih efektif dari yang lama atau tidak. Dikatakan secara rasional, karena validasi disini masih bersifat penilaian berdasarkan pemikiran rasional, belum fakta lapangan.

Validasi produk dapat dilakukan dengan cara menghadirkan beberapa pakar atau tenaga ahli  yang sudah berpengalaman untuk menilai produk baru yang dirancang tersebut. Setiap pakar diminta untuk menilai desain tersebut, sehingga selanjutnya dapat diketahui kelemahan dan kekuatannya. Validasi desain dapat dilakukan dalam forum diskusi. Sebelum diskusi peneliti mempresentasikan proses penelitian sampai ditemukan desain tersebut, berikut keunggulannya.

5.      Perbaikan Desain

Setelah desain produk, divalidasi melalui diskusi dengan pakar dan para ahli lainnya . maka akan dapat diketahui kelemahannya. Kelemahan tersebut selanjutnya dicoba untuk dikurangi dengan cara memperbaiki desain. Yang bertugas memperbaiki desain adalah peneliti yang mau menghasilkan produk tersebut.

6.      Uji coba Produk

Desain produk yang telah dibuat tidak bisa langsung diuji coba dahulu. Tetapi harus dibuat terlebih dahulu, menghasilkan produk, dan produk tersebut yang diujicoba. Pengujian dapat dilakukan dengan ekperimen yaitu membandingkan efektivitas dan efesiensi sistem kerja lama dengan yang baru.

7.      Revisi Produk

Pengujian produk pada sampel yang terbatas tersebut menunjukkan bahwa kinerja sistem kerja baru ternyata yang lebih baik dari sistem lama. Perbedaan sangat signifikan, sehingga sistem kerja baru tersebut dapat diberlakukan.

8.      Ujicoba Pemakaian

Setelah pengujian terhadap produk berhasil, dan mungkin ada revisi yang tidak terlalu penting, maka selanjutnya produk yang berupa sistem kerja baru tersebut diterapkan dalam kondisi nyata untuk lingkup yang luas. Dalam operasinya sistem kerja baru tersebut, tetap harus dinilai kekurangan atau hambatan yang muncul guna untuk perbaikan lebih lanjut.

9.      Revisi Produk

Revisi produk ini dilakukan, apabila dalam perbaikan kondisi nyata terdapat kekurangan dan kelebihan. Dalam uji pemakaian, sebaiknya pembuat produk selalu mengevaluasi bagaimana kinerja produk dalam hal ini adalah sistem kerja.

  10.  Pembuatan Produk Masal

Pembuatan produk masal ini dilakukan apabila produk yang telah diujicoba dinyatakan efektif dan layak untuk diproduksi masal. Sebagai contoh pembuatan mesin untuk mengubah sampah menjadi bahan yang bermanfaat, akan diproduksi masal apabila berdasarkan studi kelayakan baik dari aspek teknologi, ekonomi dan ligkungan memenuhi. Jadi untuk memproduksi pengusaha dan peneliti harus bekerja sama.

C.     Tahap-tahap Penelitian dan Pengembangan yang Dimodifikasi

Penelitian dan pengembangan yang dimodifikasi dari sepuluh langkah penelitian dan pengembangan dari Borg dan Gall. Secara garis besar dikembangkan oleh Sukmadinata dan kawan-kawan terdiri atas tiga tahap, yaitu:

1.            Studi Pendahuluan

Tahap pertama studi pendahuluan merupakan tahap awal atau persiapan untuk pengembangan. Tahap ini terdiri atas tiga langkah:

a.Studi kepustakaan

Studi kepustakaan merupakan kajian untuk mempelajari konsep-konsep atau teori-teori yang berkenaan dengan produk atau model yang akan dikembangkan. Umpamanya untuk penyusunan model pembelajaran bagi pengem­bangan kemampuan berkomunikasi anak SD kelas tinggi. studi kepustakaan difokuskan mengkaji konsep dan teori-teori tentang model-model pembelajaran bahasa, khususnya dalam pengembang­an berkomunikasi. Studi kepustakaan juga mengkaji perkembang­an, karakteristik anak SD kelas tinggi (kelas 5 dan 6) khususnya dalam kemampuan berkomunikasi. Selain dari itu studi kepusta­kaan juga mengkaji hasil-hasil. penelitian terdahulu yang berkenaan dengan pembelajaran bahasa dan berkomunikasi.

b.Survei lapangan

Survei lapangan dilaksanakan untuk mengumpulkan data berkenaan dengan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran matematika di sekolah dasar terutama yang berkenaan dengan pengembangan kemampuan koneksi matematika. Data yang dikumpulkan meliputipersepsi, motivasi dan keterampilan guru mengembangkan kemampuan koneksi matematika, pelaksanaan pembelajaran, factor-faktor pendukung pembelajaran, aspek siswa yang meliputi kemampuan, sikap, motivasi dan minat belajar matematika. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, studi documenter, dan pengamatan pada waktu guru mengajar.

c. Penyusunan produk awal atau draf model (karena yang dikembang­kan umumnya berbentuk model)

Draf model tersebut selanjutnya direvisi dalam sebuah pertemu­an yang dihadiri oleh para ahli dalam bidang kurikulum dan pembelajaran, pendidikan bahasa Indonesia, dan beberapa guru SD senior yang punya pengalaman dalam pembelajaran dan pelatihan bahasa Indonesia. Berdasarkan masukan-masukan dari pertemuan review di atas, tim peneliti mengadakan penyempurnaan draf model tersebut. Draf yang  telah disempurnakan, digandakan sesuai dengan kebutuhan.

 

2. Uji Coba Terbatas dan Uji Coba Lebih Luas

Selesai kegiatan pada tahap pertama Studi Pendahuluan, kegiatan dilanjutkan dengan tahap kedua, Uji Coba Pengembangan Produk pendidikan (model pembelajaran komunikatif). Dalam tahap ini ada dua langkah, langkah pertama melakukan uji coba terbatas dan langkah kedua uji coba lebih lugas.

1.   Uji coba terbatas

Dalam pelaksanaan uji coba terbatas, guru-guru pelaksana uji coba melaksanakan pembelajaran berdasarkan satuan pelajaran yang mereka susun. Selama kegiatan pembelajaran, peneliti melakukan pengamatan, mencatat hal-hal penting yang dilakukan guru, baik hal-hal baik maupun kekurangan, kelemahan, kesalahan dan penyimpangan yang dilakukan guru. Selain kegiatan guru, pengamatan dan pencatatan juga dilakukan terhadap respon, aktivitas dan kemajuan-kemajuan yang dicapai siswa.

Selesai satu pertemuan, peneliti mengadakan diskusi dengan guru membicara­kan apa yang sudah berjalan, terutama kekurang/kelemahan dan kesalahan atau penyimpangan yang dilakukan. Berdasarkan masukan-masukan tersebut guru mengadakan perbaikan terhadap satpelnya atau mencatat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan pembelajaran. Peneliti mengadakan memberikan catatan penyempurnaan terhadap draf model pembelajaran yang digunakan.

Selesai pembelajaran satu satpel para peneliti mengadakan pertemuan membicarakan temuan­temuan dari uji coba. Berdasarkan temuan-temuan tersebut peneliti mengadakan penyempurnaan terhadap model pembelajaran yang dikembangkan. Kalau ada perubahan yang sangat berarti dalam draf model pembelajaran tsb., maka peneliti memberitahukan kepada guru pelaksana uji coba agar dalam penyusunan satuan pelajaran disesuaikan dengan perubahan tersebut.

Demikian dilakukan dengan satuan pelajaran atau pokok bahasan berikutnya. Setelah beberapa putaran dilakukan dan masukan-masukan perbaikan satpel dan draf model pembelajaran tidak ada lagi, maka kegiatan uji coba dihentikan. Selesai putaran uji coba terbatas para peneliti mengadakan pertemuan untuk membahas temuan-temuan dan melakukan penyempurnaan terakhir sebelum uji coba lebih luas.

2.      Uji coba lebih luas

Uji coba lebih luas dilakukan dengan sampel sekolah dan guru yang lebih banyak, yaitu 6 sekolah dan 12 orang guru. Sekolah yang diambil berbeda dengan uji coba terbatas. Penentuan sampel dilakukan berdasarkan stratified-cluster random, yaitu diambil satu sekolah baik di pusat kota dan satu di pinggiran kota, satu sekolah sedang di pusat dan satu di pinggiran dan satu sekolah kurang di kota dan satu di pinggiran kota. Pada masing-masing sekolah diambil dua orang guru sehingga jumlah guru pelaksana uji coba lebih luas ini berjumlah 12 orang.

Langkah kegiatan pada uji coba ini sama dengan uji coba terbatas, dimulai dengan penyusunan satuan pelajaran hingga pengamatan, diskusi dan penyempurna­an dilakukan terus sampai dinilai tidak ada lagi kekurangan atau kelemahan, sehingga uji coba dapat dihentikan. Para peneliti mengadakan pertemuan penyempurnaan draf terakhir, dan setelah kegiatan ini draf sudah dinilai final.

3. Uji Produk  dan Sosialisasi Hasil

Uji produk merupakan tahap pengujian keampuhan dari produk yang dihasilkan. Dalam pelaksanaan pengujian digunakan dua kelompok sampel, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Jumlah kelompok eksperimen sebanyak kelompok uji coba lebih luas, dalam penelitian kami berjumlah 12 guru atau 12 kelas dari 6 sekolah masing-masing satu sekolah dari kategori baik di pusat kota, pinggiran kota, sekolah sedang di pusat dan sekolah pinggiran kota dan sekolah kurang dari pusat kota dan pinggiran kota. Kelompok kontrol jumlah dan kategorinya sama dengan kelompok eksperimen. Di samping pertimbangan kategori dan lokasi pemilihan kelompok kontrol juga didasarkan atas kesamaan statusnya sebagai SD inti atau imbas, latar belakang dan pengalaman guru, sarana dan fasilitas pembelajaran yang dimiliki. Dengan dasar-dasar pertimbangan pemilihan tersebut masing­masing pasangan kelompok dinilai sama atau setara sehingga memenuhi syarat sebagai berpasangan atau matching.

Dengan gambaran kelompok eksperimen dan kelompok kontrol seperti di atas desain eksperimen yang digunakan termasuk “The Matching Only Pretest-Posttest Control Group Design”.

Dalam pelaksanaan eksperimen guru pada kelas-kelas kelompok eksperimen dalam pembelajarannya menggunakan model pembe­lajaran komunikatif sedang pada kelompok kontrol menggunakan pembelajaran biasa. Pokok bahasan yang diajarkan, buku sumber dan alat bantu yang digunakan relatif sama. Sebelum dirnulai pembelajaran diberikan pretest yang sama dan setelah selesai seluruh pembelajaran pokok bahasan juga diberi post test yang sama. Dalam kegiatan eksperimen tidak ada perbaikan model pembelajaran maupun satuan pelajaran, keduanya menggunakan model yang telah dikembangkan pada uji coba lebih luas.

Setelah selesai eksperimen dan pemberian post tes, diadakan analisis statistik uji perbedaan. Uji perbedaan yang dihitung adalah antara hasil pretest dengan posttest pada kelompok eksperimen, dan pada kelompok kontrol, uji perbedaan pretest antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol, post test antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol, dan antara perolehan (gain) kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Produk yang dihasilkan disosialisasikan ke sekolah-sekolah untuk diterapkan.

 

BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A.     Simpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan, maka simpulan yang dapat diambil adalah:

a.       Penelitian dan pengembangan merupakan strategi  memperbaiki praktik,

       proses untuk mengembangkan produk baru/ produk yang sudah ada, dan    penghubung kesenjangan penelitian dasar dan penelitian terapan

b.      Metode yang digunakan dalam penelitian dan pengembangan yaitu metode deskriptif,evaluatif, dan eksperimen

c.       Langkah-langkah penelitian dan pengembangan yaitu studi pengembangan, pengembangan, dan pengujian

B.     Implikasi

Implikasi simpulan butir satu yaitu jika penelitian dan pengembangan dilakukan dengan baik maka praktik yang dilaksanakan juga akan baik dan dapat mengembangkan produk yang sudah ada serta dapat meminimalisir kesenjangan dalam penelitian.

Implikasi simpulan butir dua yakni jika metode dilakukan dengan baik maka hasil penelitian lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Implikasi butir tika adalah jika langkah-langkah dilakukan dengan runtut maka akan menghindari adanya kesalahan dalam penelitian.

C.                    Saran

Berdasarkan  hasil review buku ini dapat diajukan beberapa saran. Saran tersebut ditujukan kepada mahasiswa dan peneliti berikutnya.

a.       Bagi Mahasiswa

      Agar setiap mahasiswa dapat berperan aktif dalam melakukan suatu penelitian dan pengembangan serta menjadikan review buku ini sebagai referensi untuk menentukan sumber pengetahuan dan pendekatan ilmiah yang akan digunakan.

 

b.      Bagi Peneliti Berikutnya

Review buku ini masih jauh dari kesempurnaan, maka sebaiknya dilakukan review lebih lanjut sehingga dapat melengkapi kekurangan yang terdapat dalam review buku ini.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Sugiyono.2010.Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta

Sutama.2010. Metode Penelitian Pendidikan. Surakarta: Fairus Media

http://oryza-sativa135rsh.blogspot.com/2011/01/metode-penelitian-research-and.html

https://izaskia.wordpress.com/tag/penelitian-research-and-development/

http://jujunwahyudin.blogspot.com/2011/03/penelitian-r.html

http://www.masbied.com/2010/03/20/penelitian-dan-pengembangan/

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Januari 8, 2012 inci Uncategorized

 

MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW

BAB 1

PENDAHULUAN

 

Menurut UNESCO, pendidikan pada abad ini harus diorientasikan terhadap pencapaian 4 pilar pembelajaran yaitu : (1) Learning to know (belajar untuk tahu), (2) learning to do (belajar untuk melakukan), (3) Lerning to be (belajar untuk menjadi diri sendiri), (4) learning to livetogether (belajar bersama dengan orang lain). Bila seorang guru dapat membekali siswanya dan memberi pondasi agar 4 pilar tadi dapat berdiri kokoh, betapa bahagianya siswa yang mempunyai guru atau pendidik yang berkualitas seperti itu. Dan betapa bangganya bangsa dan negara ini bila pendidikan bisa menjadi tonggak berdirinya suatu negara yang kokoh. Untuk mendapatkan hasil dari proses pendidikan yang maksimal tentunya diperlukan pemikiran yang kreatif dan inovatif serta didukung dengan faktor pendanaan yang mencukupi. Inovasi pendidikan tidak hanya pada inovasi sarana dan prasarana pendidikan serta kurikulum saja melainkan juga proses pendidikan itu sendiri.

Inovasi dalam proses pembelajaran sangat diperlukan guna meningkatkan prestasi kearah yang maksimal. Inovasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa pendekatan pembelajaran, strategi pembelajaran dan metode pembelajaran. Kewajiban sebagai pendidik atau guru , tidak hanya transfer of Knowlegde tapi juga dapat mengubah prilaku, memberikan dorongan yang positif sehingga siswa termotivasi, memberi suasana belajar yang menyenangkan agar mereka bisa berkembang semaksimal mungkin. Guru tidak hanya mengolah otak siswanya tapi juga mengolah jiwa anak didiknya, bila seorang guru hanya mengolah otak tanpa mempedulikan jiwa anak didiknya, alhasil mereka tumbuh menjadi manusia robot yang tidak berhati.

Anak yang cerdas, bukan saja anak yang nilai ulangannya baik, nilai rapornya tinggi, tapi emosional dan fungsi motoriknya berjalan dengan baik hingga tugas guru adalah menciptakan iklim belajar dalam pembelajaran yang sehat dan menyenangkan, memberikan dorongan kepada para siswanya agar mempunyai motivasi yang tinggi. Karenanya guru harus mengetahui model model pembelajaran sebagai bagian dalam perencanaan mengajarnya, agar siswa dapat memahami yang berikan oleh gurunya secara seksama.

Metode pembelajaran yang dilakukan oleh guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam keberhasilan pendidikan. Penggunaan metode yang tepat akan menentukan keefektifan dan keefisienan dalam proses pembelajaran. Guru harus senantiasa mampu memilih dan menerapkan metode yang tepat sesuai dengan pokok bahasan yang diajarkan. Terdapat beberapa metode yang telah lama digunakan oleh para guru antara lain ; meode ceramah, metode Tanya jawab, dan metode resitasi. Serentetan metode tersebut bisa dikatakan metode konvensional. Model pembelajaran konvensional yang selama ini digunakan oleh sebagian besar guru yang tidak sesuai dengan tuntutan jaman, karena pembelajaran yang dilakukan kurang memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi siswa untuk aktif mengkonstruksi pengetahuannya. Salah satu model pembelajaran yang dimungkinkan mampu mengantisipasi kelemahan model pembelajaran konvensional  adalah dengan menggunakan model pembelajaran tipe jigsaw. Pembelajaran  model ini lebih meningkatkan kerja sama antar siswa. Kelas dibagi menjadi kelompok-kelompok belajar yang terdiri dari siswa-siswa yang bekerja sama dalam suatu perencanaan kegiatan. Dalam pembelajaran ini setiap anggota kelompok diharapkan dapat saling bekerja sama dan bertanggung jawab baik kepada dirinya sendiri maupun pada kelompoknya.

Dalam masalah ini akan dipaparkan pengertian pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. Bagaimana langkah-langkah menerapkannya, kelebihan dan kelemahan model pembelajaran ini, serta bagaimana mengatasi kelemahan-kelemahan dalam menerapkan model sehingga mengarah pada pembelajaran kooperatif tipe jigsaw yang inovatif.

BAB II

PEMBAHASAN

            Dalam era global, teknologi telah menyentuh segala aspek pendidikan sehingga informasi lebih mudah diperoleh. Hendaknya siswa aktif berpartisipasi sedemikian sehingga melibatkan intelektual dan emosional siswa  dalam proses belajar mengajar. Keaktifan disini berarti keaktifan mental walaupun untuk ini sedapat mungkin dipersyaratkan keterlibatan langsung keaktifan fisik dan tidak hanya berfokus pada satu sumber informasi yaitu guru yang hanya mengandalkan satu sumber komunikasi. Seringnya rasa malu siswa yang muncul untuk melakukan komunikasi dengan guru maembuat kondisi kelas yang tidak aktif sehingga berakibat pada rendahnya prestasi belajar siswa. Maka perlu adanya usaha untuk menimbulkan keaktifan dengan mengadakan komunikasi yaitu guru dengan siswa dan siswa dengan rekannya.

Menurut Piaget, perkembangan kognitif maupun empat aspek, yaitu 1) kematangan, sebagai hasil perkembangan susunan syaraf; 2) pengalaman, yaitu hubungan timbal balik antara organisme dengan dunianya; 3) interaksi social, yaitu pengaruh-pengaruh yang diperoleh dalam hubungannya dengan lingkunga sosial, dan 4) ekulibrasi, yaitu adanya kemampuan atau sistem mengatur dalam diri organisme agar dia selalu mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya. Hal ini juga diperkuat oleh teori belajar kognitif lainnya yaitu oleh teori Vygotsky yang dikenal dengan “scaffolding”. Scaffolding adalah memberikan kepada seorang anak sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu mengerjekan sendiri. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah kedalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.

 A.       Metode Pembelajaran Jigsaw

Pada awalnya metode ini dikembangkan oleh Elliot Arronson dari Universitas Texas dan kemudian diadaptasi oleh Slavin (Nurhadi, 2004:65). Metode  jigsaw adalah teknik pembelajaran kooperatif di mana siswa, bukan guru, yang memiliki tanggung jawab lebih besar dalam melaksanakan pembelajaran. Tujuan dari jigsaw ini adalah mengembangkan kerja tim, ketrampilan belajar kooperatif, dan menguasai pengetahuan secara mendalam yang tidak mungkin diperoleh apabila mereka mencoba untuk mempelajari semua materi sendirian.

Langkah-langkah dalam pembelajaran dengan menggunakan metode Jigsaw adalah:

a.         Kelas dibagi menjadi beberapa tim atau kelompok kecil yang terdiri dari 4 – 6 orang dengan karakteristik yang berbeda.

b.        Setiap siswa yang ada di “kelompok awal” mengkhususkan diri pada satu bagian dari sebuah unit pembelajaran. Para siswa kemudian bertemu dengan anggota kelompok lain yang ditugaskan untuk mengerjakan bagian yang lain, dan setelah menguasai materi lainnya ini mereka akan pulang ke kelompok awal mereka dan menginformasikan materi tersebut ke anggota lainnya.

c.         Semua siswa dalam “kelompok awal” telah membaca materi yang sama dan mereka bertemu serta mendiskusikannya untuk memastikan pemahaman.

d.        Mereka kemudian berpindah ke “kelompok jigsaw” – dimana anggotanya berasal dari kelompok lain yang telah membaca bagian tugas yang berbeda. Dalam kelompok-kelompok ini mereka berbagi pengetahuan dengan anggota kelompok lain dan mempelajari materi-materi yang baru.

e.         Setelah menguasai materi baru ini, semua siswa pulang ke “kelompok awal” dan setiap anggota berbagi pengetahuan yang baru mereka pelajari dalam kelompok “jigsaw.” Seperti dalam “jigsaw puzzle” (teka-teki potongan gambar), setiap potongan gambar – analogi dari setiap bagian pengetahuan – adalah penting untuk penyelesaian dan pemahaman utuh dari hasil akhir

Jigsaw adalah teknik pembelajaran aktif yang biasa digunakan karena teknik ini mempertahankan tingkat tanggung jawab pribadi yang tinggi. Menurut Arends(1997) Fasilitator / guru dapat mengatur strategi jigsaw dengan dua cara:

  • Pengelompokkan Homogen :

Instruksi: Kelompokkan para peserta yang memiliki kartu nomor yang sama. Misalnya, para pe­serta akan diorganisir ke dalam kelompok diskusi berdasarkan apa yang mereka baca. Oleh karena itu, semua peserta yang membaca Bab 1, Bab 2, dst, akan ditempatkan di kelompok yang sama.

Sediakanlah empat kertas lipat, lipatlah masing-masing menjadi dua menjadi papan nama, berilah nomor 1 sampai 4 dan letakkanlah di atas meja.

Kelebihan: Pengelompokan semacam ini memungkinkan peserta berbagi perspektif yang ber­beda tantang bacaan yang sama, yang secara potensial diakibatkan oleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap salah satu bab. Potensi yang lebih besar untuk memunculkan proses analisis daripada hanya sekedar narasi sederhana.

Kelemahan: fokusnya sempit (satu bab) dan kemungkinan akan berlebihan.

 

  • Pengelompokkan Hiterogen

Instruksi: Tempatkan para peserta yang memiliki nomor yang berbeda-beda untuk duduk ber­sama. Misalnya, setiap kelompok diskusi kemungkinan akan terdiri atas 4 individu: satu yang telah membaca Bab 1, satu yang telah membaca Bab 2, dsb.

Sediakanlah empat kertas lipat, lipatlah masing-masing menjadi dua menjadi papan nama, berilah nomor 1 sampai 4 dan letakkanlah di setiap meja. Biarkan para peserta mencari tempatnya sendiri sesuai bab yang telah mereka baca berdasarkan “siapa cepat ia dapat”.

Kelebihan: Memungkinkan “peer instruction” dan pengumpulan pengetahuan, memberikan pe­serta informasi dari bab-bab yang tidak mereka baca.

Kelemahan: Apabila satu peserta tidak membaca tugasnya, informasi tersebut tidak dapat dibagi/ didiskusikan. Potensi untuk pembelajaran yang naratif (bukan interpretatif) dalam berbagi infor­masi.

 

B.       Kelebihan Pembelajaran Kooperatif Jigsaw

Menurut Ibrahim dkk (2000) menyatakan bahwa belajar kooperatif dapat mengembangkan tingkah laku kooperatif dan hubungan yang lebih baik antar siswa, dan dapat mengembangkan kemampuan akademis siswa. Siswa belajar lebih banyak dari teman mereka dalam belajar kooperatif dari pada dari guru. Ratumanan (2002) menyatakan bahwa interaksi yang terjadi dalam belajar kooperatif dapat memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Menurut Kardi & Nur (2000) belajar kooperatif sangat efektif untuk memperbaiki hubungan antar suku dan etnis dalam kelas multibudaya dan memperbaiki hubungan antara siswa normal dan siswa penyandang cacat. Davidson (1991) memberikan sejumlah implikasi positif dalam belajar matematika dengan menggunakan strategi belajar kooperatif, yaitu sebagai berikut:

1.      Kelompok kecil memberikan dukungan sosial untuk belajar matematika.

Kelompok kecil membentuk suatu forum dimana siswa menanyakan pertanyaan, mendiskusikan pendapat, belajar dari pendapat orang lain, memberikan kritik yang membangun dan menyimpulkan penemuan mereka dalam bentuk tulisan.

2.      Kelompok kecil menawarkan kesempatan untuk sukses bagi semua siswa dalam matematika. Interaksi dalam kelompok dirancang untuk semua anggota mempelajari konsep dan strategi pemecahan masalah.

3.      Masalah matematika idealnya cocok untuk diskusi kelompok, sebab memiliki solusi yang dapat didemonstrasikan secara objektif. Seorang siswa dapat mempengaruhi siswa lain dengan argumentasi yang logis.

4.      Siswa dalam kelompok dapat membantu siswa lain untuk menguasai masalah-masalah dasar dan prosedur perhitungan yang perlu dalam konteks permainan, teka-teki, atau pembahasan masalah-masalah yang bermanfaat.

5.      Ruang lingkup matematika dipenuhi oleh ide-ide menarik dan menantang yang bermanfaat bila didiskusikan. Belajar kooperatif dapat berbeda dalam banyak cara, tetapi dapat dikategorikan sesuai dengan sifat berikut (1) tujuan kelompok, (2) tanggung jawab individual, (3) kesempatan yang sama untuk sukses, (4) kompetisi kelompok, (5) spesialisasi tugas, dan (6) adaptasi untuk kebutuhan individu (Slavin-1995).

 

C.       Kelemahan Pembelajaran Kooperatif Jigsaw

Beberapa hal yang mungkin bisa menjadi ‘pengganjal’ aplikasi metode ini dilapangan yang harus kita cari jalan keluar atau solusinya, menurut (Roy Killen, 1996) adalah:

1.      Prinsip utama pola pembelajaran ini adalah “peer teaching”,

pembelajaran oleh teman sendiri, ini akan menjadi kendala karena perbedaan persepsi dalam memahami suatu konsep yang akan di diskusiskan bersama dengan siswa lain. Dalam hal ini pengawasan guru menjadi hal mutlak di perlukan, agar jangan sampai terjadi “missconception”.

2.      Dirasa sulit meyakinkan siswa untuk mampu berdiskusi menyampaikan meteri pada teman, jika siswa tidak punya rasa percaya diri. Pendidik harus mempu memainkan perannya mengorkestrasikan metode ini.

3.      Rekod siswa tentang nilai, kepribadian, perhatian siswa harus sudah dimiliki oleh pendidik dan ini biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengenali tipe-tipe siswa dalam kelas tersebut.

4.      Awal penggunaan metode ini biasanya sulit dikendalikan, biasanya butuh waktu yang cukup dan persiapan yang matang sebelum model pembelajaran ini bisa berjalan dengan baik.

5.      Aplikasi metode ini pada kelas yang besar (lebih dari 40 siswa) sangatlah sulit. Tapi bisa diatasi dengan model “team teaching”.

Berdasarkan uraian di atas, dapat di sederhanakan baik kelebihan maupun kelemahan dalam menerapkan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw yaitu:

 

1.      Guru berperan sebagai pedamping, penolong, dan mengarahkan siswa dalam mem[elajari materi pada kelompok ahli yang bertugas menjelaskan materi kepada teman-temannya.

2.      Pemerataan penguasaan materi dapat dicapai dalam waktu yang lebih singkat.

3.      Metode pembelajaran ini dapat melatih siswa untuk lebih aktif dalam berbicara dan berpendapat.

Dalam penerapannya sering dijumpai beberapa permasalahan atau kelemahan-kelemahan, yaitu:

1.      Pembagian kelompok yang tidak heterogen, dimungkinkan kelompok yang anggotanya lemah semua.

2.      Penugasan anggota kelompok untuk menjadi ahli sering tidak sesuai antara kemampuan dengan kompetensi yang harus dipelajari.

3.      Siswa yang aktif akan lebih mendominasi diskusi, dan cenderung mengontrol jalannya diskusi.

4.      Siswa yang memiliki kemampuan membaca dan berfikir rendah akan mengalami kesulitan untuk menjelaskan materi ketika sebagai tenaga ahli sehingga dimungkinkan terjadinya kesalahan(miskonsepsi)

 

Solusi untuk mengatasi kelemahan

            Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang muncul dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1.      Pengelompokan dilakukan dengan terlebih dahulu mengurutkan kemampuan matematika siswa dalam kelas (siswa tidak perlu tahu).  Misalnya jumlah siswa dalam kelas 32 orang, kita bagi dalam bagian 25% (rangking 1-8) kelompok sangat baik, 25% (rangking 9-16) kelompok baik, 25 % selanjutnya (rangking 17-24) kelompok sedang. 25% (rangking 25-32) rendah. Selanjutnya kita akan membaginya menjadi 8 grup (A-H) yang isi tiap-tiap grupnya heterogen dalam kemampuan matematika, berilah indeks 1 untuk siswa dalam kelompok sangat baik, indek 2 untuk kelompok baik, indek 3 untuk kelompok sedang dan indek 4 untuk kelompok rendah.

2.      Sebelum tim ahli kembali ke kelompok asal yang akan bertugas sebagai tutor sebaya, perlu dilakukan tes penguasaan materi yang menjadi tugas mereka. Bila ditemukan ada anggota ahli yang belum tuntas, maka dilakukan remedial yang dilakukan oleh teman satu tim.

 

BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan beberapa hal yaitu:

1.      Penerapan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat mendorong siswa untuk menjadi siswa yang mandiri dan otonom.

2.      Pergeseran peran guru selama pembelajaran sehingga mendorong adanya pembelajaran yang berpusat pada siswa.

 

B.  Saran

1.      Dalam menerapkan pembelajarn kooperatif tipe jigsaw harus memperhatikan tingkat heterogenitas masing-masing kelompok asal danb pemberian tugas yang akan menjadi tim ahli sesuai dengan kemampuan siswa.

2.      Guru harus selalu memupuk tanggung jawab individu maupun kelompok dalam pembelajaran.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Januari 8, 2012 inci Uncategorized